Ayam Bakar Megaria
Dulu waktu gue baru bisa baca, gue pernah punya buku besar kumpulan dongeng dari seluruh dunia yang tebal penuh ilustrasi. Sekarang buku itu gak tau ke mana. Ada satu cerita yang samar2 gue inget, kalau detailnya salah tolong dikoreksi ya.
Once upon a time, ada seorang putri kerajaan yang menyamar jadi rakyat biasa dan mengetuk pintu sebuah rumah untuk diperbolehkan bermalam di sana. Pemilik rumah, seorang ibu tua, entah bagaimana curiga bahwa perempuan di hadapannya adalah putri, untuk membuktikannya dia menyuruh anak laki2nya menumpuk 17 kasur dan di tumpukan paling bawah diletakkannya biji2an. Putri itu kemudian dipersilahkan tidur di atas tumpukan kasur tersebut.
Keesokan harinya, si ibu bertanya, "bagaimana tidurmu semalam, Nak?"
"Saya gelisah semalaman, Bu. Ada sesuatu seperti biji2an yang mengganjal punggungku dan mengganggu tidurku."
Dan dengan demikian, terbongkarlah kedok sang putri.
Dan dengan demikian, terpatri di benak seorang anak kecil bernama Amel, bahwa seorang putri itu selayaknya sensitif. Ada biji2an di bawah 17 lapis kasurpun seharusnya terasa.
Namun hidup rupanya tidak sedramatis dongeng anak perempuan. Tidak perlu waktu lama bagi gue untuk tau bahwa gue ini adalah orang yang paling tidak sensitif di seluruh dunia.
Ambil contoh telinga gue. Dulu waktu gue masih SD, kalau ada telepon buat nyokap kebetulan gue yang ngangkat, nyokap gue selalu tanya, "siapa yang nelpon?" jelas gue gak tau jawabannya. "laki2 atau perempuan?" hmm.. pertanyaan bagus, gue juga gak tau apa jawabannya, hehe.. Gue gak bisa bedain suara laki2 dari suara perempuan di telpon! Boro2 mengenali itu suara siapa. Memang semakin gue tua semakin telinga gue sensitif, rupanya sensitivitas juga bisa dipelajari ya. Tapi ya gitu deh, kalau gak ada bakat emang susah.
Nyokap gue selalu mengaitkan ketidaksensitifan gue dengan kurang menaruh perhatian. Jadi, bukannya gue gak sensitif, tapi yang ada gue gak perhatian. Nyokap gue pernah curiga bahwa gue dulu waktu kecil autis. Tidak memperhatikan apa2, tidak peduli apa2, asik dengan dunia gue sendiri. Kalau gue disuruh jaga adek bungsu gue R yg lagi tidur di kasur, pasti ujung2nya adek gue itu jatuh. *gak ngaruh banget gitu loh ada gue atau gak ada gue di sana*. Makanya R sekarang agak2 korslet gue rasa karena dia kebanyakan jatuh di bawah pengawasan gue waktu masih bayi dulu, hehe..
Lidah gue juga sama aja. Ada orang2 yg merasa semua makanan itu kalau bukan enak ya enak banget. Bagi gue, semua makanan ya begitulah rasanya, seperti seharusnya. Misalnya ada yang bilang "kentang goreng ini enak", lalu dia tanya gue bgmn menurut gue. Hmm.. gue pasti bingung, apa ya… yah.. rasa kentang goreng lah, apalagi emangnya? Masak rasa es krim sih? Pusing kan gue. Kalau gue disuruh membandingkan dua rasa kentang goreng yg ada di hadapan gue pada saat yang bersamaan, mungkin gue masih bisa bilang mana yang lebih enak dari yg mana, tapi yg jelas, chip di kepala gue terutama bagian menyimpan ingatan tentang rasa sangat tidak berfungsi.
Panca indera gue yang lain sama payahnya. Dulu nyokap gue pernah bilang, kalau pakai minyak wangi, pakailah satu botol sampai habis, baru ganti lagi. Dengan demikian orang akan mengaitkan bau tertentu dengan diri kita. Yang tidak akan terjadi kalau kita tiap hari ganti parfum. Namun, bagi gue, tidak pernah gue mengaitkan satu bau tertentu dengan nyokap gue betapapun keras usahanya mencoba, hehe. Bagi gue cuma ada dua bau: bau wangi dan bau sampah. Variasi di antara dua ekstrim itu tidak terdeteksi oleh indera penciuman gue, huhuhu…
Tapi Tuhan memang Maha Adil. Sebagai kompensasi dari panca indera gue yang sangat tidak sensitif, diberiNyalah gue hati yang sangat sensitif *silahkan protes, paling protes kalian nanti gue delete, huahahaha.*
Makanya gue merasa gue bikin kesalahan fatal dengan tema reportase gue. Bagaimana cara gue bercerita ttg makanan dengan sensitivitas yang sangat minim ini? Kalau kalian mau tau, di Jerman gue masak tidak pernah dengan takaran yang pasti, misal: masukkan ke dalam adonan setengah sendok teh gula, weleh… apa bedanya gula setengah sendok teh atau setengah sendok nasi di lidah gue? Bagi gue gak ada bedanya. Jadi ujung2nya pake feeling aja. Tapi temen2 gue yang cukup sial sehingga sering ngerasain masakan gue pasti bilang, sepuluh kali gue masak spaghetti, sepuluh rasa yang berbeda yg ada. Bagi koki2 kelas dunia di Fulda seperti Memey, Ody, dan Shinta, mereka pasti stress menghadapi gue. Misal: "masukkan garam secukupnya". Secukupnya? Bagi gue sama artinya dengan semaunya. Jadi ya, mau-mau gue lah, huahuahua….
Oke, janji adalah janji, jadi gue tetap akan bikin reportase makanan, tapi jangan protes kalau gue akhirnya nanti akan lebih banyak "murni reportase" tanpa pendapat pribadi. Makanan pertama yg akan gue laporkan hari ini adalah Ayam Bakar Megaria. Teman kencan gue hari ini adalah M. Samar2 gue inget pernah makan ayam bakar ini suatu waktu bertahun2 yg lalu, sama M juga, tapi lupa detailnya. Hari ini M nemenin gue ke British Council yang sudah pindah tempat ke gedung Diknas di Senayan. Setelah ribet nyari lokasi BC yang baru dan setelah akhirnya urusan BC selesai, niat hati kita mau nonton Gie, memuaskan ngidam gue hehe.. tapi apa daya tangan tak sampai.
Jalanan di hari Sabtu di Jakarta padatnya minta ampun. Bisa jadi orang2 Jakarta pada ke Puncak dan Bandung, tapi jangan2 org2 Puncak dan Bandung malah ke Jakarta, jd gak ngaruh, udah gitu berhubung libur jd org2 pada hilir mudik gak karuan. M sengaja ngelewatin pertokoan Setiabudi yang belum pernah gue liat, terus kita lewat TIM yg ternyata udah gak muter Gie lagi, jadi kita ke Megaria di dekatnya. Memang ada Gie di studio 6, tapi jamnya itu loh, mesti nunggu 2 jam lebih untuk pemutaran berikutnya, hmm.. jadi batal lagi deh nonton Gie, huhuhuhu….
Akhirnya kita makan. M nanya, mau makan batagor atau ayam bakar Mel? Hmm.. kalau dua2nya aja gmn M? hehe… enggak lah becanda, di Jakarta kemampuan makan gue menurun drastis. Gue pilih ayam bakar karena:
1. Kiosnya demikian penuh jadi pastinya enak kan?
2. Mereka bakar2 ayam di depan kios dan baunya ke mana2 mengundang penasaran gue. Kayaknya enak nih.
Dan setelah gue cicipin rasnaya memang enak. Apa ya yang membedakannya? Gue juga gak tau. Yang jelas sambelnya enak. Gue curiga sambel itu digoreng deh. Sayangnya waktu itu M pas banget lagi cerita gossip yg sangat menarik jd gue bener2 lupa kl gue mesti bikin reportase jd gue lupa sekalian wawancara M ttg pendapatnya, hehe.. *ketauan banget amatirnya*. Oya, gue juga bingung kenapa ya lalapan itu selalu ada kol mentah? Memangnya ada yang makan kol itu ya? Gue dan temen2 gue selama ini yg gue perhatiin sih gak pernah nyentuh kol itu, tapi kenapa selalu ada kol di lalapan? Bete gue.
Mengenai harganya, mmm… rata2 lah. Dan gue juga suka tempatnya yg lumayan bersih dan menyediakan keran dan sabun cair sehingga kita bisa cuci tangan dengan layak.
PS: sori tanpa foto soalnya HPnya M baterenya abis dan gue sama sekali gak ada rencana bikin reportase awalnya jd tanpa persiapan. *amatiran kok dipamerin*.
2 Comments:
At 4:04 AM, Anonymous said…
I have been looking for sites like this for a long time. Thank you! » » »
At 4:23 AM, Anonymous said…
Very nice site! » » »
Post a Comment
<< Home