about a girl

A grandfather was walking through his yard when he heard his granddaughter repeating the alphabet in a tone of voice that sounded like a prayer. He asked her what she was doing. The little girl explained: "I'm praying, but I can't think of exactly the right words, so I'm just saying all the letters, and God will put them together for me, because He knows what I'm thinking." -Charles B. Vaughan

Friday, April 29, 2005

Horror Dari Kisah Nyata

ga sekolah lo mel
harusnya sih
pagi pula
tp malas?
tapi males banget yak
ujan gitu
elo gak tau sih jef kl ujan di sini cacing2 pada keluar
kesian deh lo
ujan di sini gak cukup bawa payung aja
tp
harus bawa buldoser utk menghindari tebaran cacing
hiiiiiiiiiiiiiii
hrs bawa keberanian utk melawan cacing?
yup, keberanian juga udah cukup kali ya
cacing lo takut
hahahahahaha





Kelemahan gue adalah cacing.

Well, sebenernya banyak sih kelemahan gue. Misalnya coklat dan es krim. Pokoknya orang2 gampang deh ngeracunin gue. Cukup kasih gue coklat atau es krim, bakal langsung gue lahap tanpa bertanya2.

Tapi lebih dari semuanya, gue gak tahan ngeliat cacing.

Well, sebenernya sih ke semua binatang juga gue takut. Bukan jijik atau benci dan pengen bunuh, tapi geli dan pengen menjauh aja... Kalaupun ada binatang2 yang bisa gue hadapi dengan tenang, itu cuma ikan (selama mereka tetap di dalam air) atau burung (selama mereka tetap terbang jauh di atas gue) atau dinosaurus (karena mereka sudah punah dan tinggal fosil dan terpisah puluhan ribu tahun jauhnya dari gue). Binatang2 rumah pun gue gak suka. Dan mereka juga keliatannya gak suka sama gue :((

Makanya gue gak habis pikir sama orang2 yang punya peliharaan macem2 sampai rumahnya kayak kebun binatang.


Contohnya sahabat gue Manda.
Di Jogja, rumahnya merangkap kebun binatang. Dia punya segala macem, mulai dari ikan, burung, ayam, kucing, sampai ke harimau. Pada saat2 high season, kucing di rumahnya bisa mencapai jumlah 25 ekor! Berarti kalau gue ke sana, gue bisa pingsan pangkat 25. M adalah salah satu psikolog kucing yang gue kenal. Dia tau mana kucing yang gay, mana kucing yang cantik dan layak jadi model di dunianya, mana kucing yang naksir yang mana dan mana yang gak cocok sama yang mana. Dia itu psikolog kucing. Dia menamakan kucing2nya seperti nama2 orang. Salah satu kucingnya dia kasih nama Puspita Setyaningrum. Panggilannya Pus. (Eh, ini kucingnya Manda atau kucing temen gue yang lain ya?)

Masih tentang kucing.
Adik gue Razif adalah satu2nya di keluarga yang cinta kucing. Walaupun nyokap gue gak pernah mengizinkan ada kucing di dalam rumah (inilah salah satu alasan gue gak mau menukar nyokap gue sama nyokap2 lain). R bisa lihat kucing mana yang lagi ketawa (plis deh, secara fisiologis atau anatomi mulut kucing, mustahil ada kucing yg bisa ketawa kan?) Dulu waktu kita tinggal di Aljazair, kita sempat punya 7 kucing. Gue yang ngasih nama. Gue emang hobby ngasih nama. Gue ngasih nama aneh2 lah ke kucing2 itu, sesuai selera gue, contohnya Mustek, Hradcanska, Sparta, dll (nama2 stasiun subway di Praha, kekekeke). Tapi terus guru piano kita ngasih nama baru buat mereka, nama2 yang lebih bagus menurut gue, jadi gue rela kalau mereka ganti nama. Berhubung mereka ada 7, guru piano gue ngasih nama buat mereka: do, re, mi, fa, sol, la, si. Dari situlah asal muasal alamat imel gue di yahoo, kalau kalian mau tau. Itu nama2 kucing.

Hmmm... kucing memang salah satu binatang peliharaan favorit.
Di keluarga besar nyokap gue, semuanya tergila2 sama kucing. Mulai dari nenek gue sampai sepupu gue yang paling kecil. Nenek gue dulu pernah punya kucing jantan berbulu putih yang sangat bagus bagi para ahli kucing (bagi gue sih warna bulunya hanya putih), saking gantengnya dia dikasih nama Josh Luis (ada hubungannya sama telenovela2 Latin).


Nenek gue, bingung: Josh Luis mana? Ayo ajakin sarapan sekalian...

Gue, panik: Haa? Josh Luis siapa? Gila aja, gue baru bangun nih belum mandi, mana sisir? mana sisir? Tunggu gue bedakan dulu...


Ternyata mereka ngomongin kucing.


Josh Luis seperti inilah yang gue harapkan:

Image hosted by Photobucket.com


Namun Josh Luis semacam inilah
yang ternyata sedang mereka khawatirkan:


Image hosted by Photobucket.com



Mereka semua gila kucing, terutama keluarga Tante gue, Tante Mila. Rumahnya sudah sejak lama diambil alih oleh kucing2. Dan kucing2 yang mau melahirkan pasti datangnya ke tempat Tante gue ini, sampai2 kita juluki dia bidan kucing. Waktu salah satu sepupu gue gak sengaja menyebabkan salah satu kucing mereka mati (itu adalah murni kecelakaan), sepupu2 gue yang lain marah dan menuduh dia pembunuh. Anak2 kecil itu langsung mengadakan upacara pemakaman lengkap dengan acara tangis2an sebagai salam perpisahan mengenang kucing yang sudah dipanggil ke sisi-Nya mendahului kita semua...






Kok gue jadi ngomongin kucing ya… kan seharusnya gue ngomongin cacing, walaupun sama2 berakhiran ‘cing’.

Dengan pengakuan gue bahwa gue takut cacing, sama sekali tidak berarti bahwa gue berani sama ular dan lintah dan semacamnya. Temen gue Dewi, kakaknya pelihara ular di rumah. Udah gitu ularnya tuh gaul gitu, suka keluyuran. Kebayang gak sih kalau di kamar loe tiba2 ada ular lagi jalan2? Tapi kayaknya Dewi udah mati rasa deh. Dia suka cerita2 ttg ular itu yang mabok darat lah kalo dibawa jalan2 naik mobil, yang ini lah yang itu lah… aduh…

Dan ngomong tentang lintah, gue pernah punya pengalaman traumatis beberapa tahun yang lalu. Jadi ceritanya gue sama anak2 KSM sekitar 4 tahun yang lalu pernah ke curug panjang gitu deh di sekitar Bogor. Setelah semaleman api unggun, pagi2nya kita mau liat air terjun. Nah gue telat bangun, hehe, jadilah gue nyusul belakangan ke atas bareng sama Ardi, Jimmy, satu lagi siapa yak? Lupa gue… Koko? Andry? Hengky? Yah pokoknya kita berempat gitu deh…

Dan kita nyasar. Setelah satu jam di tengah hutan, yang lembab, yang sepi, yang gue curiga gak pernah dilewati manusia, mulailah serangan pacet dimulai. Bagi yang gak tau pacet itu apa, biar gue kenalin dulu ya… Pacet itu binatang penghisap darah yang bentuknya seperti ulat dan sangat lincah, lompat2 gitu deh. Dalam sedetik dia bisa tiba2 ada di lengan loe… kalau pacet lagi asik ngisap darah loe, sebaiknya jangan begitu aja ditarik karena taringnya bisa ketinggalan di badan loe dan menyebabkan pendarahan… Jadi kalau loe dihisap pacet, liatin aja ya, sampai mereka gemuk kekenyangan darah loe… huhuwwhuww… ini sih teorinya, prakteknya sih, begitu gue liat pacet di kaki gue misalnya, rasanya pengen langsung gue lempar kaki gue jauh2…

Sekarang pun, setelah 4 tahun berlalu, gue gak pernah bisa pulih 100%. Kita nyasar selama 4 jam di hutan. Tanpa tau arah dan tujuan, tanpa tau apakah bisa keluar dari sana hidup2, cowok2 itu dari waktu ke waktu saling memeriksa badan satu sama lain siapa tau ada pacet di punggung mereka. Sementara gue? Cuma bisa teriak2 histeris aja gitu.. Pacet2 itu gak cuma menghisap darah gue, mereka juga menghisap kewarasan gue… Gue rasa gue jadi agak2 gila permanen gara2 kejadian itu.





Tapi seberapa sering sih gue ketemu ular dan pacet dalam hidup gue sehari2? Sementara cacing?
Dulu waktu gue kuliah di tengah hutan di Depok, ada satu jalan setapak, jalan pintas dari kampus gue ke stasiun lewat hutan. Romantis sekali lah… rindang… damai… tapi kalau abis ujan… huuuu berubah jadi setting adegan horror. Cewek2 pada loncat2 menghindari cacing2 yang pada naik ke jalanan. Segala macem bentuk cacing ada di jalan itu. Segala ukuran, segala usia. Ada yang masih utuh menggeliat2, ada yang udah gepeng keinjek, ada yang setengah-setengah. Makanya gue lebih baik muter dan jalan 3 kali lebih jauh daripada lewat sana. Makanya gue luar biasa lega setelah lulus dari kampus itu…

… tapi rupanya gue terlalu cepat lega, karena ternyata di Fulda gue ketemu ketemu lagi sama cacing2 kalau jalan ke kampus abis ujan. Dan kali ini tanpa alternatif jalanan, dan kali ini gue mesti ngelewatin itu semua sepanjang 30 menit. Manusia toh pada akhirnya memang harus menghadapi ketakutan2 mereka, gak bisa menghindar terus2an…

Bagi teman2 yang kira2 seangkatan sama gue, mungkin kalian masih inget ya dulu pas SMP kelas 2 di pelajaran Biologi ada satu bab tentang cacing. Gue disuruh ngapalin nama2 cacing lengkap dengan nama2 Latin mereka, plus familinya dan ciri2nya. Emang kurikulum Indonesia tuh gak penting banget, tapi mari kita fokuskan bahasan kita ke cacing. Emang kurikulum Indonesia tuh gak ada penting2nya, tapi yang lebih menyiksa gue adalah, mereka juga masukin gambar2 cacing di buku pelajaran kita.

Sayangnya dulu gue masih sangat muda dan polos… kalau sekarang kejadian seperti itu, gue bakal menolak penyiksaan itu. Waktu itu sih gue terima2 aja, walaupun gue harus tutup gambar2 cacing itu pakai kertas, diselotip, itu pun yang ngerjain temen2 cowok sekelas gue. Supaya seenggaknya gue bisa langsung pegang buku itu tanpa pingsan2 terlebih dahulu.





Cacing adalah mimpi buruk gue.
Wajar kan kalau di posting kali ini gue gak kasih gambar sama sekali? Se-artistik2nya gambar cacing, hanya gambar cacing yang sudah ditutup kertas yang bisa gue liat dengan tenang. Seperti ini misalnya:

Image hosted by Photobucket.com

Di atas adalah gambar cacing, indah kan?






Terapi behavioral dalam Psikologi sangat mungkin efektif digunakan untuk membuat gue berani menghadapi cacing.

Dalam menghadapi kasus phobia, ada serangkaian terapi dari berbagai aliran Psikologi yang bisa dipakai. Waktu gue masih kuliah Psikologi dulu, di kelas Psikoterapi, dosen kita Alm. Prof. Sukiat (dari aliran behaviorisme), suka cerita tentang mahasiswa2 co-ass nya. Bagi mahasiswa S1, tujuan kuliah ini hanyalah untuk tau teknik2 terapi, tapi buat mahasiswa yang mau jadi psikolog, tau saja tidak cukup. Mereka harus bisa mempraktekkannya (logis kan?) Dan sebelum mempraktekkannya, mereka juga harus pernah punya pengalaman sebagai orang yang diterapi (logis kan?)

Di salah satu kelas Psikologi Klinis buat co-ass, Prof Sukiat bawa ulat ke kelas, yang dia deskripsikan sebagai “ulat kecil warna-warni yang lucu dan imut2”. Bayangin aja reaksi cewek2 calon2 psikolog yang cantik2 dan tangannya halus2 itu ketika lihat ulat. Ada yang teriak2 histeris dan sama sekali gak mau mendekat. Dan singkat cerita, setelah dipraktekkan terapi2 mengatasi phobia, cewek2 itu malah memohon2 supaya boleh bawa pulang ulat2 itu!!!

Ya iyalah! Kalau gue di posisi mereka pun gue bakal melakukan hal yang sama. Mana yang gue pilih:
1. tiba2 berubah berani menghadapi ulat, atau
2. gak lulus jadi psikolog?
Huahuahuaha…. Tapi sebenernya gue punya alternatif lain sih… Ini melibatkan perencanaan yang sangat matang sejak awal. Sejak kita diwawancara sebelum jadi co-ass:


Jadi kamu ingin jadi psikolog?

Ya Bu, benar sekali.
Psikolog apa tepatnya?
Psikolog Klinis Bu.
Oh, begitu… Kamu tentu tau dalam mempelajari manusia, kita harus lebih dahulu mempelajari diri sendiri.
Saya sangat setuju Bu. *jangan lupa senyum!*
Nah, apakah kamu sudah mulai mempelajari diri sendiri? Apakah kamu tau, misalnya, benda atau binatang apa yang paling kamu takuti? *pertanyaan menjebak*
Ya Bu, saya paling gak tahan liat coklat dan es krim… *pasang tampang ngeri*
Coklat dan es krim? *mengangkat muka dari kertas2 di hadapannya*
Ya. Saya rasa itu ada hubungannya dengan ketakutan saya jadi gemuk… *nice answer Mel*
Kamu gak takut sama ulat?
Ulat? *tampang bingung* Apa yang harus ditakuti dari ulat Bu? Mereka gak menggigit, mereka gak menyebabkan kita kegemukan... *wow, makin kagum gue sama diri gue sendiri*


Jadi demikianlah… pada saat pelajaran terapi phobia tiba… saat temen2 sekelas gue dihadapkan sama ular dan tikus dan kecoak, gue akan dikasih coklat, bwahahahaha…. Selebihnya… mari kita serahkan pada kemampuan acting gue…..





Beribu maaf buat temen2 psikolog gue… kalian tau kan gue ini cuma sirik aja karena kalian sekarang udah jadi psikolog dan gue … gak jelas… huhuwhwuhwuuu…. Btw, wawancara buat penerimaan mahasiswa co-ass sama sekali gak ada mirip2nya sama yang gue ketik di atas. Jadi bagi kalian yg berniat kuliah co-ass, jangan anggap simulasi wawancara di atas sebagai kisi2 ya…

Creative Commons License

1 Comments:

Post a Comment

<< Home