about a girl

A grandfather was walking through his yard when he heard his granddaughter repeating the alphabet in a tone of voice that sounded like a prayer. He asked her what she was doing. The little girl explained: "I'm praying, but I can't think of exactly the right words, so I'm just saying all the letters, and God will put them together for me, because He knows what I'm thinking." -Charles B. Vaughan

Wednesday, May 11, 2005

Potongan-potongan Cerita Ringan


E-mail dari teman...

Assalamu 'alaikum, Selamat Siang ....
Bapak, Ibu, Kakak, Adik, teman, apa kabar?

Setelah sebulan tidak ketemu Depok ternyata Depok dengan segala ke-Depok-annya bisa bikin kagen yah. Ternyata kangen pun harus produktif. Dari pada tetap nggak bisa tidur, bengong, melihat cicak di langit-langit kamar yang ngeledek (Sumpah, kalau lagi kayak gini kayaknya cicak aja ngeledek. Bayangin cicak aja punya teman untuk kejar-kejaran dengan ceria tralala, di sini saya sendirian ajah) lebih baik membuat oleh-oleh cerita untuk “Orang-orang Depok.” Ceritanya yang ringan-ringan sajalah karena Nanggroe ini sudah full derita bencana. Menulisnya sambil mengenang anda-anda karena bukankah setiap kenangan adalah sebentuk perjumpaan?



Mundzir, tapi bukan orang Aceh

Beruntung juga punya nama Mundzir di Aceh. Mundzir adalah nama cukup identik dipakai oleh orang Aceh seperti Susilo yang identik dengan orang Jawa. Karena nama “Mundzir” dan saya relawan Puskris yang paling suka jalan-jalan ke Aceh maka dulu ada dosen yang bertanya saya Aceh-nya di mana. Dosen UI sih masih wajar, suatu ketika dosen Universitas Malikussaleh Lhokseumawe berbicara dengan saya dengan Bahasa Aceh. Saya tidak paham Bahasa Aceh jadi tidak sadar kalau dia sedang bicara dengan saya dan saya diam saja. Dia kemudian bertanya, “Dzir, kamu Pidie-nya di mana?” Saya jawab, saya orang Jawa. Baru dia sadar kalau dari tadi saya tidak tahu kalau dia ajak bicara. Wajah saya pun konon ada mirip-miripnya dengan orang Aceh. Jadi nama sudah identik, tanda tangan saya pakai tulisan arab jadi kalau kirim surat lebih dikira orang Aceh lagi, wajah ada miripnya, tapi ada satu hal yang membuat saya tidak dapat terus-terusan mengecoh orang, kalau saya bicara, orang segera tahu kalau saya kebanyakan makan tempe waktu kecil.

Senangnya lagi, Aceh adalah tempat dimana orang bisa melafalkan nama saya dengan benar. Beragam sekali cara orang memanggil saya: Munzir, Munjir, Munsir, Munsier, Munir (kalau sekarang ada istilah di-Munir-kan, semoga tidak akan ada istilah di-Mundzir-kan hehe) bahkan dalam dokumen-dokumen resmi nama saya ditulis dengan Ibnu Mundir, dulu waktu masih kerja di LSM Katolik saya malah dipanggil Mujri. Ayah saya pun TIDAK PERNAH melafalkan nama saya dengan benar. Coba yang benar bagaimana?

Aceh juga menjadi tempat dimana saya harus lebih merenungkan nama saya. Konon nama adalah doa. Dalam sebuah khotbah Jumat di Lhokseumawe pasca tsunami, khotib membahas musibah yang terjadi di Aceh dengan sebuah ayat yang ia tafsirkan sepanjang khotbah itu:

Wa maa ahlaknaa qoryatan illa wa lahaa mundzirun
Dan tidaklah kami hancurkan suatu negri kecuali telah kami utus pada mereka seorang mundzir (pemberi peringatan)


Hmm, meskipun secara ma’nawiyah saya belum bisa menjadi seseorang yang dapat memberi peringatan pada orang lain sehubungan dengan gilanya kelakuan saya, setidaknya secara harfiah Mundzir yang satu ini dapat hadir di negri-negri yang telah dihancurkan untuk menjadi orang yang terus diingatkan ….



Usia muka dan duka yang dalam
Beberapa hari yang lalu, dosen, suhu senior di Pusat Krisis, Dr. Sukiat meninggal dunia. Kami dulu pernah jalan-jalan bareng ke Poso dan Banda Aceh beberapa hari setelah tsunami. Kesediaan beliau untuk berangkat ke mana saja membuat kami selalu memiliki stok relawan handal. Kesederhanaan beliau untuk menerima akomodasi se-adanya dalam situasi emergency, beratap seribu bintang, membuat memudahkan kami. Kemampuan beliau berimprovisasi membuat saya merasa aman ketika harus pergi menghadapi situasi yang tidak pasti. Kemurahhatian dalam membagi ilmu membuat kami tertantang untuk belajar banyak. Humor beliau yang segar mengalir membuat suasana menjadi akrab.

Jadi ingat ledekan-ledekan terakhir beliau pada saya. Saya lahir tahun 1981. Karenanya, saya sering dibilang “m asih muda” dibanding teman-teman seperjalanan. Saya selalu jawab, di psikologi itu ada dua usia: usia kronologis yang dihitung dari jumlah satuan waktu yang telah dihabiskan seseorang di dunia ini dan usia mental (gimana njelasinnya yah? Saya dulu ngulang pas kuliah ini!). “Usia kronologis boleh kalah, tapi usia mental belum tentu”, ujarku. Beliau kemudian menanggapi, “Tapi sekarang di psikologi ditemukan usia ketiga, UMu, usia muka. Coba kalian lihat, saya beberapa hari lagi akan pensiun, dia masih baru lulus kuliah, tapi wajah dia kelihatan lebih tua dari wajah saya!”


Ada sesuatu yang terasa kosong ketika beliau pergi….



Satu toko kok isinya barang abal-abal
Dahulu ada sebuah tulisan di Kompas yang membahas pernyataan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) bahwa masalah terbesar yang tersebar (rima katanya enak juga yah) di Aceh adalah korupsi yang dilakukan secara kaafah (sempurna) dan berjamaah (bersama-sama). Kalimat itu sering terbayang di benak saya di sini. Tidak perlu lah bicara tentang pemerintah daerah dengan sang mantan gubernur sebagai sampelnya atau militer yang kadang diledek datang ke Aceh dengan M16 dan pulang dari Aceh dengan 16 M(ilyar), sektor swastanya saja deh. Beberapa kali, tanpa saya minta, saya ditawari kwitansi yang berbeda dengan jumlah yang saya bayar. Kalau besar seperti, pernah, lebih dua puluh juta ya saya tolak tapi kalau kecil seperti bayar fotokopi Rp 2400 dan diberi kwitansi Rp 4200 ya saya diam saja, malas ngurusnya paling-paling kalau sudah sampai Depok cerita sama bagi an keuangan kalau kwitansinya salah sedikiiiit.

Contoh “korupsi” bentuk lain adalah warung dekat kami ternyata punya harga yang fluktuatif, kadang seribu, kadang seribu lima ratus, yang paling aneh empat ribu tiga gelas. Mentang-mentang kami orang baru di sini. Contoh lain, kami belanja barang kebutuhan rumah seperti kipas angin rakitan, lemari baju rakitan, kabel gulung, setrika listrik, dan jam dinding di sebuah toko. Barang –barang itu memang tidak bermerek sih meski harganya semahal barang dengan merek yang familiar di Jakarta. Eh pas dirakit, ada bagian kipas yang nggak pas, lemari juga karena rangkanya lebih panjang dari pada covernya (itu lho bertutup lemari plastik dengan rangka besi), jam dinding baru dua hari nggak bisa jalan dengan normal, pisau tidak tajam, setrika listrik tidak bisa panas, parahnya lagi kabel gulung ternyata gampang putus dan bikin sekring listrik di rumah juga putus L Kok ada yah, satu toko jualan barang abal-abal semua? Makanya ketika kami butuh kompor gas, kami kapok belanja di sini dan lebih memilih untuk minta kiriman dari Jakarta.

Eh, bukan berarti gak ada orang jujur di sini yah? Ada, banyak malah! Contohnya suatu sore kami beli bakso (jangankan bakso, disini pun ada KFC yang kepanjangannya memang Kentucky Friend Chicken asli!). Seorang teman tidak suka mi kuning jadi dia minta agar tidak diberi mi kuning. Sang penjual tetap bersikeras untuk memberi mi kuning karena katanya, “ Ini sudah hak Kakak!”



Menjadi raja minyak di era pasca petrodollar
Lhoksumawe dahulu disebut sebagai daerah petrodollar karena kaya dengan minyak dan gas alam. Dalam perjalanan dari bandara ke Kota Lhokseumawe, anda akan melewati perusahaan atau kompleks perumahan mewah para pekerja Pertamina, Mobil Oil, Pupuk Iskandar Muda (PIM), Asean Aceh Fertilizer, pabrik industri aromatik dan sebagainya. Sedikit cerita serius, sayangnya, kekayaan alam tersebut tidak menghadirkan kesejahteraan bagi mayoritas penduduk setempat. Beberapa tahun lalu Aceh merupakan salah satu propinsi penghasil devisa terbesar, tetapi ia juga merupakan propinsi dengan tingkat kesejahteraan nomor dua dari bawah. Propinsi dengan tingkat kesejahteraan terburuk adalah Papua yang juga kaya dengan bahan tambang dan mineral.

Kesenjangan ekonomi adalah salah satu penyebab utama diproklamirkannya Aceh Merdeka (AM) oleh Hassan Tiro pada 4 Desember 1976. AM kemudian lebih dikenal dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam Bahasa Indonesia atau Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) dalam Bahasa Inggris. Faktor ekonomi yang melatarbelakangi kemunculan GAM tentu saja merupakan hal yang berbeda dengan tuntutan penerapan syariat Islam yang mendorong Daud Bereueuh memproklamirkan DI/TII pada tahun 1959. Perang konon memiliki seribu nyawa. Motif ekonomi kemudian bergabung dengan motif dendam korban perlakuan militer yang buruk selama penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998. Perubahan motif ini menunjukkan korban dapat menjadi pelaku pada kemudian hari.

Kembali ke cerita main-main, meskipun saat ini cadangan minyak bumi dan gas di Aceh hampir habis hingga perusahaan yang berbahan bakar gas di sini seperti PIM, AAF atau Kertas Kraft Aceh mulai tutup karena kekurangan pasokan gas tapi saya masih bisa merasakan pengalaman jadi raja minyak di Lhokseumawe. Penyebabnya sederhana saja, di sini saya tinggal dan bekerja bersama dengan empat sarjana psikologi dan psikolog perempuan. Kalau sedang makan malam, saya sering bercanda dengan teman-teman itu, “Wah, orang-orang itu pasti melihat saya dengan iri ya soalnya bisa selalu bersama kalian.” Akan tetapi, ternyata mengasuh “harem” tidak gampang, apalagi kalau lagi menemani mereka belanja, wah orang sesabar saya (ehm, ehm) pun bisa tumbuh tanduknya.



Laugh is the best medicine
Salah satu tempat paling menakutkan di Aceh buat salah satu anggota tim kami ternyata kamar mandi di kontarakan karena ketika kami datang di rumah ini ada banyak kecoa yang bagi orang tertentu lebih menakutkan dari GAM. Salah satu tugas saya sebagai kepala rumah tangga adalah membunuh kecoa-kecoa itu di malam hari. Selain kecoa, di sini pun banyak nyamuk, panas sekali, dan di belakang rumah ada sekitar sembilan anjing yang kalau malam melolong-lolong. Akhirnya kami pun menamai rumah ini dengan rumoh ye yang berarti rumah yang menakutkan untuk ditinggali. Sebagai orang luar yang memberanikan diri nongkrong dan jalan-jalan di sini selama tiga bulan kami mengibaratkan kegiatan ini dengan acara tv Fear Factor. Tapi kata factor tidak diucapkan dengan fekter karena oran g Aceh itu sama dengan orang Bali dalam mengucapkan huruf “t” menjadi “th”, fekther. Bedanya kalau di Bali “th”-nya thuris di sini “th”-nya “theroris”. Alhamdulillah, kami dikarunia rasa humor.



Awal hari yang paling indah
Dahulu saya sering ditanya apa tidak takut jalan-jalan ke daerah (pasca) perang. Sejujurnya, dulu perbendaharaan kata “takut” pun tidak ada dalam kamus mental saya. Setelah mengalami dikokangi senapan di Aceh saat darurat militer saya baru sadar bahwa berani itu tidak berarti tanpa rasa takut, tapi berani adalah kemampuan menaklukkan rasa takut kita. SAYA, SEMAKIN TUA, SEMAKIN SERING KE DAERAH (PASCA) KONFLIK/BENCANA, SEMAKIN SERING MERASA TAKUT KETIKA AKAN PERGI. Ada dua hal yang membuat saya tetap “berani”: saya yakin insyaAllah niat saya baik dan saya yakin ada banyak teman-teman yang mendoakan saya. Karenanya, awal hari terindah saya di sini adalah terbangun karena bunyi sms berisi doa yang teguhkan semangat. Di sini subuh jam 05.15, jadi kapan giliranmu membuat bangunku menjadi awal hari yang paling indah?



Hari gini nyanyi lagu lama ….
Sekian dulu e-mail ringan ini, nanti kalau sempat saya tulis e-mail yang serius lah. Maunya sih seperti dalam lagu-lagu lama itu, saya berjanji untuk berkirim surat setiap pekan, tapi saya yakin tidak dapat menepatinya. So, hari gini nyanyi lagu lama…. Kirim-kirim kabar ke saya ya?




Kabar terpenting dari sebuah e-mail bukanlah pesan yang tersurat pada layar monitor tapi perasaan yang tersirat di lubuk hati pengirim bahwa berinteraksi dengan penerima tetap memberikan kesenangan baginya. Untuk itulah e-mail ini terkirim.



Dear Mundzir (untunglah ini imel jd saya gak perlu khawatir dengan pelafalan yg benar bgmn),

imel km ini sangat menggugah, saya mau minta izin utk taruh di blog saya ya ... sebenernya saya akan kirim sms satu jam lagi (kalau sekarang masih terlalu awal), sekalian untuk mengawali harimu dengan indah (huhuuyyy), tapi takutnya smsnya ga nyampe atau ada perubahan nomor hp dan semacamnya, jd tetep saya kirim imel juga.

tetap semangat ya Mundzir, doakan saya cepat selesai dengan urusan di sini sehingga bisa bergabung dengan kalian. Kalau baca imel2 dari temen2 psikologi yang sekarang sudah tersebar di seluruh penjuru Indonesia, rasanya saya suka gak sabar karena hanya duduk di sini dan tidak melakukan apa2 :((

Creative Commons License

2 Comments:

  • At 10:49 AM, Anonymous Anonymous said…

    Hai Mel, saya sudah lihat blog-mu, blog pertama yang pernah kulihat. Sampai jumpa ya Mel.

     
  • At 1:01 PM, Anonymous Anonymous said…

    Very nice site! »

     

Post a Comment

<< Home