Mimpi Buruk Transportasi
Peringatan: ini adalah posting terpanjang sepanjang sejarah blog gue (hampir 3000 kata). Mungkin kalian butuh setidaknya 2 hari utk bisa selesai baca. Gue aja butuh berhari2 utk ngetiknya, huhuhu….
Bagi teman2 Indonesia yang kuliah di Jerman, lini penerbangan Gulf Air (milik Emirat Arab?) sangat terkenal di antara ratusan jasa penerbangan lain karena dua hal:
1. Menyediakan tiket jurusan Jakarta dengan harga termurah.
2. Merupakan penerbangan yang konon paling tidak nyaman.
Semua orang yang denger bahwa gue kemarin niat pulang ke Jakarta naik Gulf Air langsung membombardir gue dengan cerita2 pengalaman2 buruk mereka sehubungan dgn penerbangan itu. Semua sibuk memberi peringatan, ulasan, kekecewaan, blablabla.
Semua gak ngerti kenapa gue asik2 aja setelah mengalami Gulf Air.
Maka dari itu, sekarang gue bakal cerita, pengalaman2 traumatis gue tentang transportasi yang pernah gue alami jauh di masa lalu, yang sudah turut membentuk diri gue sehingga menjadi seperti sekarang ini, ihiks. Yang jelas inilah transportasi2 terburuk di sekitar gue, dan setelah pernah terlibat dengan transportasi2 itu, maka tidak ada transportasi lain di seluruh dunia yang gue anggap buruk. Dibandingkan transportasi2 yg bakal gue ceritain di sini, Gulf Air adalah bagaikan kenyamanan hotel berbintang 5.
Eh kok gue jadi kayak iklan gini ya? Intinya gue mau cerita sekarang ttg transportasi2 terbobrok yang pernah gue naiki: transportasi2 darat dan laut.
Transportasi di Jakarta
Sebenernya, dengan hanya gue bilang gue tinggal di Jakarta, maka seharusnya kalian bisa bayangin kan, bahwa gue ini terbiasa sama transportasi yang buruk dan membahayakan jiwa.
Di Jakarta, kehidupan sudah dimulai ketika hari masih gelap. Jutaan orang hilir mudik menuju sekolah, kampus, tempat kerja, dan tempat2 beraktivitas lain. Pada jam2 sibuk, tidak usah bicara tentang mendapatkan tempat duduk di kendaraan umum, bisa ikut terangkut bis aja udah harus sangat bersyukur. Sopir bis, kondektur, bahkan penumpang sendiri sudah gak peduli lagi dengan kondisi bis yang sudah miring gara2 kepenuhan penumpang. Yang penting bisa masuk bis dan tidak telat di tujuan. Setelah matahari di atas kepala, udara yang panas dan lembab membuat kita bisa sauna gratis setiap hari di dalam bis. Belum lagi masalah kesewenang2an sopir bis yang suka nurunin penumpang di tengah jalan, atau transfer penumpang, kalau bis nya kosong. Bis di Jakarta tidak kenal halte dan jadwal keberangkatan. Kadang malah tanpa rute yang jelas dan pasti.
Pernah liat kereta api dalam kota Jakarta yang lagi penuh? Penumpang bukan lagi bergelantungan di pintu dan jendela, namun juga di atap kereta! Saking penuh dan padatnya isi kereta, kalau elo berhasil masuk ke dalam, elo gak perlu pegangan lagi, gak bakalan jatuh, karena terdesak kanan kiri, nafas aja susah apalagi jatuh. Bagi temen2 gue yang cukup sial sehingga berbadan kecil (tolong gak usah sok tersinggung ya, Cleopatra juga tingginya gak sampai 1,5 meter kok, small is beauty), kaki mereka bahkan tidak menjejak lantai karena terhimpit dan terangkat oleh desakan penumpang lain. Jadi ngambang gitu deh...
Sekarang kalian berpikir utk naik sepeda atau jalan kaki? Huhuhuhu kasian deh loe! Pertama, gak ada jalan khusus buat sepeda di Jakarta, kalaupun ada trotoir itu sudah penuh dipakai sama para pedagang kaki lima. Belum lagi kalau ingat seberapa banyak timbel yang bakal kalian hisap gara2 polusi udara di Jakarta sudah ada di kondisi siaga satu.
Macet dan Polusinya Jakarta
Itulah sarana umum yang sering gue gunakan. Semua ketidak nyamanan di atas belum termasuk kriminalitas yang sangat tinggi. Dan pelecehan seksual yang sering gue saksikan dengan mata kepala sendiri dan bikin muak, dan bahkan gue pernah juga jadi korban, huhuhu…
Mobil pribadi juga tidak baik keadaannya, walaupun agak mendingan sih. Di Trisakti, temen2 gue harus datang di kampus jam 6 pagi hanya supaya dapat tempat parkir. Mereka sarapan dan dandan di dalam mobil setiap pagi.
Gue cukup beruntung karena kuliah di Depok, itu berarti pulang pergi kampus, gue selalu melawan arus jadi gak terlalu rame lah. Dan perjalanan ke kampus gue dari rumah kalau naik mobil hanya butuh 20 menit tanpa satu pun ngelewatin lampu merah, lewat jalan tikus. Di kampus gue, elo bisa parkir dengan jauh lebih mudah dan murah. Tapi tetap ada saat2 di mana gue harus ke peradaban kan, gak cuma ke hutan mulu. Pernah gue pulang dari arah Radio Dalem ke rumah jam 8 malam, yg biasanya hanya butuh waktu 30 menit, tapi karena malam itu abis ujan badai, lampu merah mati total, gue sampai rumah 3 jam kemudian....Di Jakarta, kehidupan baru istirahat, lama setelah hari berubah gelap.
Pernah Denger Kapal Bernama Kerinci?
Seiseng apakah gue sehingga naik2 kapal? Sebenernya bukan iseng sih. Ini kerjaannya anak2 KSM aja. Jadi begini, dulu waktu kuliah gue gabung sama organisasi mahasiswa yg namanya KSM yang terkenal (atau tidak terkenal ya?) di kampus dengan tradisi penelitiannya. Kalau mau bikin penelitian, cara kita adalah, tunjuk aja satu kota yang pengen kita kunjungi, lalu baru dicari2 masalah penelitiannya apa, hehe.. Kalau mau bikin penelitian, kotanya dulu yang ditentukan, baru topiknya kemudian. Intinya jalan-jalan lah.
Penelitian thn 2002, anak2 KSM pergi ke Tanjung Pinang, satu kota di ujung Indonesia, di kepulauan Riau, utk meneliti masalah prostitusi di sana. Kita rombongan sekitar 20 orang pergi ke Tanjung Pinang naik kapal laut Kerinci, pernah denger? Itu kapal besaaaar sekali, kalian bayangin Titanic di kepala, oke? Tapi apa yang kita alami di atas kapal? Jelas tidak seromantis Titanic.
Ini bukan gambar Kerinci, cuma supaya kalian bisa kira2 ukuran kapal yg gue bicarakan.
Sebelumnya mungkin gue harus kasih sedikit gambaran seperti apakah tipikal anak2 KSM ini. Mereka anak2 yang asik2 aja, di sini senang di sana senang. Yang penting ada gitar dan kartu remi. Mereka bisa dan terbiasa dengan fasilitas yang seadanya, bahkan gue rasa mereka tertantang jika harus melakukan sesuatu dengan fasilitas yang seadanya. Mereka kulit badak, petualang, tahan banting. Bagi mereka, mangan ora mangan yang penting ngumpul (hohoho... ini gue hiperbola, ralat: bagi mereka, mau ngapain aja yang penting ada makanan, hehe, ini baru pas).
Jadi, gara2 keabisan tiket waktu itu kita sepakat untuk tetap berangkat dengan beli tiket Kerinci kelas ekonomi non seat. Anak muda gitu loh, gak usah manja2 deh. Namun ternyata ini adalah keputusan tersalah sepanjang sejarah, sodara2.
Kerinci adalah kapal laut berkapasitas 4000 penumpang. Tapi ini Indonesia, udah tau tempatnya cuma segitu, mereka jual karcis untuk 8000 orang! Kebayang kan sintingnya. Ditambah lagi, waktu itu kita pergi pas banget sama arus balik mudik lebaran. Kapal itu penuh dengan TKI dan TKW yang menuju Malaysia dan Singapur lewat Riau. Gue sangat salut sama para TKI yang menghasilkan devisa buat negara, gak seperti gue yang ngabis2in devisa, tapi kita juga mesti obyektif mengakui bahwa para TKI secara kelompok adalah orang2 yg paling susah diatur. Awak kapal Kerinci, kewalahan menghadapi lautan manusia di kapal, kadang harus bersikap seperti sipir penjara supaya mereka sedikit mau disiplin. Terutama pada saat ngantri makanan.
Oh ya, perjalanan dari Jakarta ke Tanjung Pinang naik kapal makan waktu 3 hari, hehe... Jadi bayangin, kita di atas kapal tanpa tempat duduk (seperti halnya ribuan penumpang lain yang gak dapat tempat duduk) dan mesti tidur di lorong2 kapal beralaskan koran atau tikar, di mana orang2 lalu lalang, dan kapal itu penuh serangga2 semacam kecoak yang gue bahkan gak pernah liat di daratan.
Masalah makanan, kita dari rumah udah bawa pop mie dan makanan2 instan semacamnya. Dan teman2 gue ngotot gak mau makan makanan kapal. Ya iyalah, kita bolak balik ke dapur dan melihat dengan mata kepala sendiri gmn cara mrk masak, bener2 menghilangkan selera makan. Namun hari terakhir, gue akhirnya begitu muaknya sama pop mie, akhirnya ngantri makan juga. Gue sama temen2 gue Niken dan Ami ngantri ambil makan dan mengalami sendiri bgmn rasanya dibentak2 sama sipir penjara, hehe.. untungnya Niken itu cewek paling tebar pesona yang gue tau, dalam waktu semenit dia langsung berakrab2 sama awak2 kapal. Ckckck...
Apa yang kita makan? Ikan lah, apa lagi? Gue begitu kelaparan setelah 3 hari, gue gak peduli lagi sama amisnya, bahkan nasinya pun terasa amis. Huhuhu....
Masalah toilet? Aduh... gue mending gak mandi deh 3 hari, cuma kadang2 sikat gigi dan cuci muka, itu juga gue gak tahan sama payau airnya.
Belum lagi sama mabuk laut, uhhh... semakin besar kapal sebenernya semakin stabil menghadapi ombak, tapi tetap ada saat2 di mana goyangan di kapal bener2 bikin pusing dan mual...
Kalau malam, ada beberapa pilihan hiburan. Ada bioskop namun film2 yang dipasang adalah film2 semacam Ranjang Pengantin dan Istri Simpanan (ini judul2 khayalan gue, hanya supaya kalian bisa bayangin film2 jenis apa yang diputar). Ada juga kafe2 yang jual entah apa yang menyajikan live music dangdut sepanjang malam. Gak terlalu banyak ya pilihan kita? Kalau udara cerah sih kita bisa jalan2 liat “bintang di surga” (Peterpan, 2004). Tapi suatu malam, karena di luar badai berat, kita semua akhirnya ngumpul di suatu pojok buntu di kapal, main kartu (mengenai ini panjang ceritanya, di posting lain kali aja ya) sambil menahan mabuk laut.
Kalau gue menyimpulkan, perjalanan pergi naik Kerinci ini, yang bikin parah dan stress adalah karena terlalu banyak orang di atas kapal sampai2 seakan2 gak ada ruang gerak bagi kita. Kalau masalah mabuk laut, gue ada pengalaman yang lebih mengerikan lagi, hehehe...
Titik Terdekat Gue Dengan Neraka
Ceritanya masih sama anak2 KSM, sekitar satu tahun sebelumnya. Kita mau ke Pulau Kelapa di Kepulauan Seribu utk bakti sosial. Kita naik kapal milik Pemda Jakarta Utara. Kapal kecil yang bermesin 6, yang baru belakangan kita ketahui ternyata dari 6 mesin itu yang berfungsi cuma 2. Gila kan nahkoda kita, tetap berangkat udah tau kondisi kapalnya seperti itu.
Kapal ini kebagusan.
Bayangin ukurannya aja, sekecil ini,
dan ada atap terpal di bagian penumpangnya.
Dari pantai Jakarta Utara ke Pulau Kelapa biasanya butuh waktu 3 jam. Tapi gara2 kondisi kapal sialan itu, 7 jam kita terombang ambing di atas laut! 7 jam kalau kita lagi ngedate sih berlalu sekejap mata… tapi 7 jam di atas kapal gila itu? Huhuhuhu… bagaikan tak berujung.
Awal berangkat sih kita gaya banget, semua sangat bersemangat dan riang gembira, kita duduk2 di buritan kapal sambil ngeliat laut sambil nyanyi “nenek moyangku orang pelaut”. Tapi 30 menit kemudian? Ketika sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah laut, ketika asap kapal sangat sesak di paru2, ketika goncangan ombak tidak henti2nya dan serasa akan membalikkan perahu, ketika matahari tepat ada di atas dan sangat membakar, ketika udara yang kita hirup pun terasa asin, maka saat itu lah kita diberi kesempatan merasakan sepersejuta rasa neraka.
Cuma gue yang gak muntah di kapal itu, walau gue mualnya luar biasa dan gue tau kalau gue muntah kondisi bakal lebih enak, tapi gak bisa aja muntahin isi perut ini. Temen2 gue semua muntah minimal sekali, ada temen gue yang sampai muntah 7 kali, gue gak tau apa aja yg dia muntahin. Muka kita udah gak jelas. Bukan hanya pucat karena mabuk laut, tapi juga terbakar matahari sekaligus tebal oleh jelaga dari knalpot kapal.
Semua tergeletak tak berdaya tak bertulang (?) di kapal. Kalaupun masih ada suara2 manusia, itu hanya suara entah siapa yang nyanyi dengan lemahnya „nenek moyangku bukan pelaut“. Sudah sejak jam pertama gue gak bisa ketawa lagi.
Apa yang bisa kita lakukan di atas laut? Mau lari, tapi ke mana? Mau berhenti, tapi di mana? Pernah gak sih kalian terombang ambing di atas laut? Coba bayangin naik kora-kora di Dufan ya, seperti itu rasanya, bedanya di Dufan elo cuma diayun2 selama 2 menit, sementara kita alami itu semua 7 jam penuh!!!
Dan satu lagi yang bikin stress, adalah suara mesin kapal yang luar biasa bising. Ini jenis bising yang beda dengan bising yang ada di jalan raya di Jakarta. Di Jakarta, bisingnya bervariasi: suara klakson, suara mobil2 lewat, suara ini itu yang timbul tenggelam. Tapi di atas kapal itu, bising yang terjadi adalah jenis bising yang monoton dan konstan dari segi volume dan irama, dan itu luar biasa depresifnya kl elo denger berkesinambungan tanpa jeda jangankan selama 7 jam, satu jam aja rasanya udah mau jedot2in kepala ke tembok.
7 jam kemudian, setelah gue 2 kali hampir terlempar ke laut (kalau di game2 komputer, nyawa gue udah berkurang 2), kita sampai di Pulau Kelapa dengan rasa puas bagaikan Colombus menemukan dunia baru.
Proyek Radio Komunitas di Pulau Kelapa
Gue gak menyalahkan kalian kalau Kepulauan Seribu yang ada di kepala kalian adalah pulau2 kecil indah berpasir putih berpantai sebening kaca, pulau2 wisata bernyiur melambai berangin sepoi2 di mana elo bisa minum air kelapa langsung dari batoknya. Pulau2 bernama Pulau Bidadari, Pulau Mutiara, dan semacamnya yang penuh dengan hotel2 berbintang dan penuh dengan para jet set yang ke sana naik kapal pesiar utk mencoba peruntungan mereka di kasino2nya.
Itu benar, namun tidak tepat. Ada di antara pulau2 itu yang berpenghuni. Dan Pulau Kelapa adalah pulau yang terletak di ujung utara Kepulauan Seribu, salah satu pulau yang terbesar, termiskin, dan terpadat penduduknya di Kepulauan Seribu. Masalah sosial yang dimiliki pulau ini dari A sampai Z.
Menyusul penelitian dan bakti sosial KSM thn 2001, beberapa anak KSM bikin proyek Radio Komunitas di Pulau Kelapa yg disponsori oleh Ditjen Dikti. Dan pelaksanaannya bertepatan pas gue semester 7 di kampus. Coba deh elo sebut semester 7 di depan anak2 Psikologi 98, maka akan kalian liat perubahan wajah jadi sangat agresif dan pengen mencincang si penanya. Semester 7 adalah semester MKT yang tugasnya adalah disuruh bikin psikotes yang prosesnya melibatkan keringat darah dan air mata, dan selalu minta tumbal persahabatan di setiap angkatan. Bukan rahasia, banyak persahabatan putus gara2 konflik di dalam kelompok.
MKT doang masih bisa gue hadapi. Tapi serangan bukan hanya dari MKT, namun juga dari kuliah2 lain yg menyebabkan gue dari Senin sampai Jumat tidur kadang2, makan kadang2, dan mandi kadang2. Belum lagi kerja2 part time gue, huhuhu…
Dan hampir setiap week end, kita harus ke Pulau Kelapa.
Inilah perjalanan gue setiap Sabtu dan Minggu sepanjang semester:
Sabtu pagi bangun jam 4, untuk ngejar kereta pertama jam 5 menuju Kota. Sampai stasiun Kota jam 6, ketemu temen2 lain, lalu naik angkot bentar ke terminal Kota, terus naik Metromini 30 menit sampai Muara Angke.
Dan siapa pun yang bilang Muara Angke itu romantis, cobalah ke sana pagi2, ketika ikan2 dan isi perutnya laut diturunkan dari kapal. Udara yang luar biasa amis dan panas dan jalanan yang luar biasa becek, ditambah secara fisik gue gak pernah fit kalau ke sana, membuat gue ... *speechless*.
Kapal komersial yg kita naiki berangkat jam 7 pagi dari Muara Angke. Oh ya, gue mesti deskripsikan ttg pelabuhan Muara Angke itu bgmn tampaknya, namun gue percaya, satu gambar bicara seribu kalimat. Beginilah tampaknya, sayang gue gak bisa masukkan bau2an di posting ini. Sebenernya di foto ini gak dibilang kl ini Muara Angke, tapi kemiripannya luar biasa, jd gue duga ini memang bener2 foto Muara Angke.
Makanya gue sedih kl temen2 gue yg belajar Teknik Lingkungan atau Teknik Kimia atau jurusan2 strategis lain memutuskan utk tetap di Eropa dan gak balik ke Indonesia :(( ini sindiran! (kali aja ada yg ga nyadar)
Apa yang gue liat mengambang di sana adalah *lagi2 gue speechless*. Kotoran manusia? Ah itu sih pemandangan biasa. Yang gue gak pernah terbiasa adalah pemandangan bangkai tikus dan kucing yang mengambang di sana. Bayangkan kucing yang mati dibuang ke air, bagaimanakah tampaknya 2 hari kemudian? Kucing itu terlentang, dengan keempat kakinya kaku ke atas, ke empat penjuru, dan seluruh tubuhnya menggelembung seperti balon penuh air dan gue bayangin juga penuh belatung, keliatan sangat penuh dan siap meledak. Keliatan sangat gembur sekaligus sangat kaku. Melihatnya, walau sudah seribu kali, tetap bikin syok.
Di atas kapal menuju Pulau Kelapa, penumpang2 lain adalah orang2 pulau, banyak anak kecil. Anak kecil gitu loh, yang naik sedan buatan Eropa di jalan yang sangat mulus aja bisa mabok kok, apalagi naik perahu kecil ke Pulau Kelapa (walaupun mereka anak pulau). Kapal itu beratap, di dalamnya ada tikar di mana penumpang bisa lesehan di sana, tapi gue gak pernah mau di dalam. Jendela2nya yg rendah membuat ombak dengan mudahnya masuk dan itu bisa bikin basah kuyup. Belum lagi kalau anak2 kecil itu udah mulai serangan muntah, belum lagi kalau ibu2 mereka gak cukup sigap sehingga anak2nya muntah di atas tikar. Enggak, makasih. Gue lebih baik di atas atap kapal, walau terbakar matahari, gue seenggaknya bisa menghirup udara gitu loh.
Pernah sering berada di atas atap kapal, terapung di tengah laut, membuat gue bisa ngebayangin sepersejuta derita Pi. Gue bilang sepersejuta, karena toh gue di kapal itu sama manusia2 bukan harimau. Karena toh gue di sana setiap kalinya cuma 3 jam. Karena toh gue gak perlu pusing mikirin makanan. Karena toh semabuk2nya gue, gue tau di pulau nanti gue bisa bikin teh panas, gue bisa makan nasi panas kalau mau, gue bisa istirahat. Tapi kan kisah gue ini kisah nyata, sementara Pi itu fiksi…
Kesimpulan
Dan demikianlah kisah transportasi2 terburuk sepanjang masa yang gue alami. Sekarang seharusnya kalian ngerti kalau gue bilang, bahwa bagi gue, Gulf Air adalah bagai transportasi bintang 5. Gue pernah ada di kondisi yg sejuta kali lebih buruk.
Btw, penelitian berikutnya KSM ke Kutai, Kalimantan Timur, tentang otonomi daerah. Sayangnya gue gak ikut, gue di mana waktu itu ya? Kalau gak skripsi ya mungkin gue udah lulus. Sayang gue gak ikut, soalnya mereka naik Herkules (halikopternya AURI, helikopter tempur yang konon sangat tidak nyaman hehehe), kalau ikut kan jadi bakalan tambah banyak lagi cerita gue (tidaaaaaak ini aja udah 7 halaman!!).... Anak2 itu, abis mabuk laut mabuk udara deh, hehehe.
Masa2 gue di KSM adalah masa2 di mana kulit gue terbakar tak terurus, gue tidur di mana saja kapan saja dan dengan siapa saja (lho?), gue makan apa aja yang dimakan org2 sekitar gue. Namun itu juga gue kenang sebagai masa2 kuliah di mana mata gue paling berbinar2.
Masa2 yang terlalu singkat...
1 Comments:
At 10:16 AM, Anonymous said…
kerrren banget dan lucu banget
keep blogging
-lislisa21-
Post a Comment
<< Home