about a girl

A grandfather was walking through his yard when he heard his granddaughter repeating the alphabet in a tone of voice that sounded like a prayer. He asked her what she was doing. The little girl explained: "I'm praying, but I can't think of exactly the right words, so I'm just saying all the letters, and God will put them together for me, because He knows what I'm thinking." -Charles B. Vaughan

Sunday, May 22, 2005

Suluk Tambanglaras dan Sekaratnya Bahasa Jawa



Image hosted by Photobucket.com


Suluk Tambanglaras: Bangkitnya Pengetahuan Jawa Kuno dari Mati Suri
Suluk Tambanglaras adalah judul buku (or should I say “kitab”?) terjemahan sekaligus versi ringkas dari naskah aslinya sepanjang 4000 halaman yang berjudul Serat Centhini, semacam buku pegangan orang2 Jawa yang berisi seluruh pengetahuan hidup praktis mulai dari ilmu bertani, membangun rumah, resep obat tradisional, ….., hingga pengetahuan persetubuhan. Mulai dari teori2 matematika, pengetahuan astrologi, ......, hingga sejarah perang2 besar dan legendaris di Jawa.

Ditulis dalam bahasa Jawa klasik oleh tiga pujangga dari Keraton Surakarta pada awal abad 19, buku ini, menurut Yanusa Nugraha (juga dimuat di Kompas, 2003), adalah sebuah kisah yang telah tertidur di perpustakaan selama ratusan tahun. Dan bangkit kembali berkat obsesi penyelamatan naskah tersebut yang dilakukan oleh seorang Prancis, Elisabet D. Inandiak, yang bekerja keras selama 7 tahun penuh dalam menerjemahkannya, ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Prancis.

Buku ini selalu disebut2 dan disejajarkan dengan mahakarya lain. Buku ini terkenal dengan bermacam2 julukan. Kalau orang India punya kitab Mahabarata, maka orang Jawa punya Serat Centhini. Atau, kalau orang India punya Kama Sutra, maka orang Jawa punya Serat Centhini (karena pemaparannya ttg seks yang sangat vulgar, namun sangat filosofis). Atau, ada juga studi doktoral yang memfokuskan diri pada sinkretisme Islam dan budaya Jawa di buku ini. Atau, ada juga yang melihat buku ini sebagai paganisme a la Jawa, buku pegangan para penganut aliran kejawen. Dan “atau-atau” yang lain.

Namun bagaimanapun, buku ini yang ditulis dalam bentuk tembang (puisi? syair?) adalah buku yang disebut2 sangat indah, dalem, dan sarat dengan pengetahuan sehingga memang layak jika kita juluki dia sleeping beauty (sehubungan dengan komentar Yanusa Nugraha di atas). Walaupun gue belum baca isinya secara menyeluruh, hanya sekerat2 yg dikutip di sana sini oleh para fans nya. Tapi yang jelas, buku ini sekarang ada di posisi “wanted” nomor 1 di daftar gue.



Sekaratnya Bahasa Jawa: Nafas-nafas Terakhir di Abad Modern?
Suluk Tambanglaras, buku yang seberharga ini, diterjemahkan oleh orang Prancis. Ingatan gue langsung melayang ke peristiwa beberapa minggu yang lalu ketika Prof. Hinnenkamp tanya, apakah gue mengerti bahasa dan tulisan Jawa. Dengan sisa-sisa rasa malu yang ternyata gue masih punya, gue bilang tidak, gue bilang gue bisa ngerti orang yg bicara dalam level terendah bahasa Jawa, namun yang dia maksud tentunya hoch Javanisch (bahasa Jawa baku) dan Hanacaraka. Gue tau apa yang ada di kepalanya, “dasar anak2 zaman sekarang yg tdk menghargai warisan budaya sendiri”. Dan mungkin gue harus menjalani sisa hidup gue dengan kenyataan pahit itu… namun demikian, marilah kita sisihkan dulu fakta ini sebelum gue keburu hara-kiri karena malu…

Elisabet D. Inandiak, dalam salah satu wawancara menyebutkan bhw Serat Centhini ditulis dalam “bahasa yang telah memutuskan untuk bunuh diri”. Bahasa yang melakukan “sabordage” (= tindakan melubangi perahu secara sengaja supaya tenggelam). Dalam sejarah, bahasa Jawa bukan satu2nya yg spt ini. Dua contoh lain yg sgt terkenal akan gue certain nanti.

Bagi gue yang sangat pragmatis ini, nilai manfaat dan praktis lah yang gue perhatikan lebih dari yang lain. Sampai ketika gue SMA pun gue masih berpikir, indahnya kalau manusia di bumi ini bicara dalam satu bahasa aja, kita jd lebih mengerti satu sama lain, gak ada jarak akibat masalah teknis tsb, gak perlu belajar bahasa asing, huhuhu....

Ketika gue kuliah di Psikologi, gue mulai sadar secara afektif akan kayanya perbedaan dan membosankannya segala yang seragam. Tidak harus dari segi bahasa, namun dalam segala hal. Pribadi2 yg berbeda, isi2 kepala yg beda2, blablabla. (dan cara mengatakan selamat ulang tahun yang berbeda2? Hehe..) Dan kuliah Komunikasi Antar Budaya gak bisa lepas ujung2nya dari pembahasan pentingnya preservasi bahasa2 regional dan bahasa2 minoritas, yang sayangnya, seringkali dikesampingkan demi suatu hal yang lebih „penting“ antara lain kekuasaan, dan ironisnya, yang mengesampingkan hal ini seringkali justru para penuturnya sendiri.

Contoh klasik adalah ketika Kekaisaran Romawi mengganti bahasa Latin yang mereka pakai dengan le phénicien (apa nih? Bahasa Punisia? Jangan tanya gue). Pokoknya mereka “membarter“ bahasa mereka demi mendirikan kekaisaran yang independen. (Awal punahnya Bahasa Latin?) Mirip dengan yg terjadi berabad2 kemudian, ketika para nasionalis Jawa mulai thn 20-an, memutuskan utk menggunakan bahasa Melayu yang kala itu merupakan bahasa para pedagang yg dimengerti di seluruh kepulauan Indonesia, demi persatuan Indonesia dan segala politik2an di belakangnya (tunggu, gue gak bilang ini buruk lho).

Di US sekitar 3 abad yg lalu pun, telah terjadi suatu peristiwa yg ternyata menentukan nasib dunia ini selama2nya, huhuhu... (hasil dari mendengarkan presentasinya Adella ttg bahasa minoritas di kelas Language Policies in EU). Pada saat voting mengenai bahasa persatuan apa yg akan digunakan di US, bahasa Inggris hanya menang 1 suara dari bahasa Jerman! Dan penyebab kekalahan justru berasal dari pihak Jerman yg beranggapan „semakin cepat org Jerman ke-Amrik2-an, semakin bagus“. Kloter pertama imigran Jerman ke US memang kelompok2 yg disebabkan ini itu ingin secepatnya melupakan identitas mrk sbg org Jerman.

Sejujurnya dalam hal ini gue bersyukur sih, bayangin aja bgmn rupa dunia kl gue harus baca textbooks Psikologi dlm bhs Jerman, huhuhuhu.... Namun tentu ini tidak lucu bagi bahasa Jerman, yg skrg menurut Axel (dosen gue di Hartnackschule) adalah „bahasa yang bakal mati sesaat lagi, jadi ngapain kalian belajar bahasa Jerman?“ Hmmm... „sesaat lagi“ itu bukan besok kan? Hehe...

Matinya satu bahasa, berarti matinya satu budaya, dan seluruh pengetahuan kumulatif penuturnya. Hitung saja kerugian yg diderita dunia, jika bahasa Jawa yang sudah mulai mengenal tulisan sejak abad 9, lebih dari 1000 tahun yang lalu, punah. Dan memang bahasa Jawa sedang menuju kepunahan. Bhs Jawa termasuk salah satu bahasa yang mengalami penurunan dalam jumlah penggunaan “dengan kecepatan yang mencengangkan” (Inandiak, 2005). Penurunan dengan cara yang sangat saksama dan dalam tempo yang sesingkat2nya. Kehilangan Serat Centhini “hanya” satu kerugian di antara yang lain2. Dan bahasa Jawa “hanya” satu di antara yang lain2 di Indonesia.

JADI, bagi teman2 gue yang katanya mau jadi Presiden RI, tolong ya pos buat gue di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, huhuhuhu… Gue udah punya program nih: menghapuskan cacing (dan sejuta bull shit lainnya) dari kurikulum (hehe ini sih dendam pribadi), diganti dengan pelajaran bahasa daerah yang bisa dipilih sendiri oleh murid2, termasuk sekolah2 di Jakarta juga.

Uhhh, belum lagi kalau gue inget pengajaran bahasa di sekolah2 yg sangat menyebalkan. Hafalan hal2 abstrak yg gak penting (atau caranya yg gak pas?) Ah, sudahlah, intinya mulai hari ini gue akan mengkampanyekan bhs daerah. Asal gue gak dituduh etnosentris aja ntar, atau pemecah belah, atau bahkan separatis? ckckck….



Image hosted by Photobucket.com



Tapi dr buku yg gue baca waktu gue di Berlin dulu (bagi yg msh di Berlin, coba deh baca, ini menarik sekali, gue dulu pinjemnya di perpustakaan AGB judulnya The Death of Languages atau semacamnya lah), disebutkan fakta bhw pada zaman modern ini, puluhan bahasa punah tiap tahunnya. Dan para ahli memprediksi, akhir abad ini hanya 10% bahasa yg msh bertahan. Beberapa abad lagi, hanya 3 bhs yg masih dipakai: Cina, Inggris, dan satu lagi apa ya… lupa gue, Spanyol atau apa pokoknya gak penting gitu deh (gak penting? uuuups!) Kalau gak salah ini ada hubungannya sama penggunaan internet. 60% pengguna internet berbahasa Inggris dan peringkat kedua adalah org2 berbahasa Spanyol, tapi persentasenya jauh di bawahnya. Bahasa lain msh dimengerti, tapi gak ada lagi yg pakai, sama spt bhs Latin yg skrg msh banyak dipelajari tapi gak ada lagi yg pakai.

Nah, kl sudah ketemu prediksi2 "pesimis" begini, hmmm… memang mematahkan semangat ya. Di zaman yg serba tergesa2 spt skrg, mungkin kebutuhan bhs internasional sudah sedemikian mendesaknya, mungkin sudah lbh mendesak dibandingkan kebutuhan menjaga bahasa2 regional dan minoritas (dan nasional, suatu hari nanti akhirnya)?





PS: tadinya mau ngebahas bahasa Indonesia juga, tapi lain kali aja deh, ini aja udah kepanjangan.

PS lagi: Elvy, gue blm pernah baca Suluk Tambanglaras, hehe tapi udah bikin review. Sejujurnya ini memang kadang gue sengaja Vy, terutama buat buku2 yg mahal harganya. Biar aja temen2 gue di Indonesia baca dulu buku ini, kl mrk gak suka? gue pinjem aja buku mrk, hehehe... kl mrk suka baru gue beli ;;)

Hhhh... kl raja punya pencicip makanan, maka gue punya pencicip buku, huhuhu....

Creative Commons License

3 Comments:

  • At 3:44 AM, Anonymous Anonymous said…

    Very cool design! Useful information. Go on! » »

     
  • At 4:59 PM, Blogger zen said…

    coba ke lantai 5 di perpustakaan nasional di salemba. rasakan sensasi menyentuh Ngarakrtagama!

     
  • At 2:41 PM, Blogger sephdario said…

    bikin blog pake bahasa daerah aja... kalo perlu tulisannya sekalian.. hehehehe

     

Post a Comment

<< Home