Intel is My Religion
Kasus Pertama
Dia bekerja di suatu gedung pencakar langit di Sudirman. Dia adalah tipe pekerja keras, terlihat sejak masa bangku sekolah, kemudian di tahun-tahun kuliah, dan di beberapa tempat kerja sebelumnya. Keuletannya sudah terbukti. Kolega2nya di bidang yang sama, selalu melihat iri kepadanya, karena ia bekerja di "istana" (istilah mereka). Itu adalah tempat kerja yang diincar oleh banyak orang di sekitarnya, dan dia ada di sana. Di bidangnya, itu adalah "puncak pencapaian", dan dia sudah ada di sana.
Mari kita kupas layer berikutnya. Dia benci kerja di sana.
Setiap pagi, dia sampai di kantor pukul 7.30. Dia akan ngopi dulu ("ini untuk dopping"), lalu shalat Dhuha ("gue berdo'a agar diberi hari yang lancar"), lalu masih ada waktu sebentar sebelum mulai kerja, dia gunakan untuk baca2 koran hari itu. Kemudian rutinitas dimulai. Tumpukan file yang menggunung. Telepon2 yang berdering. Laporan2. Analisa2. Blablabla. Jam-jam akan terbang demikian cepat, tiba2 sudah jam makan siang. Jam-jam akan terbang sangat cepat, tiba2 sudah hampir jam 17.00. Dia langsung siap-siap, lalu pulang tepat pukul 17.00 ("gue gak rela lebih lama lagi semenitpun di sana").
Kasus Kedua
Di belahan bumi yang lain, ada suatu kompleks modern dari suatu dinasti kapitalis lain. Di tempat kerja ini, orang akan lihat, hierarki hampir-hampir tidak kelihatan. Pekerja boleh masuk kerja jam berapapun dan pulang jam berapapun (jam kerja fleksibel), pekerja boleh datang dengan pakai jeans, atau celana pendek, atau apapun yang mereka pakai tidur tadi malam. Ruang2 para manager tidak pernah tertutup pintunya, dan entah di tingkat manapun seseorang dalam organisasi, entah dia baru masuk ke perusahaan tersebut kemarin sore, dia tetap boleh masuk sewaktu2 dan bicara dengan manager untuk menyatakan idenya. Mereka boleh kerja dengan laptop mereka sambil berjemur di Pantai Kuta Bali, kalau mau.
Mari kita dekati salah satu dari pekerja itu.
Dia bilang, "Ya, memang kita bekerja sangat keras membanting tulang di sini. Kadang sampai 24 jam berturut2, hahaha. Tapi gue betah di sini, gue suka suasananya. Gue bahagia di sini."
Bukan Kasus Pertama yang ingin gue bahas di sini. Karena cerita2 semacam ini sudah terlalu basi, bukan berarti blog gue ini isinya aktual2 banget juga sih. Tapi siapa sih yang gak familiar dengan cerita pertama? Cerita itu adalah kisah nyata sahabat gue sendiri, dan kisah nyata berjuta2 orang lain di Jakarta gue rasa. Sebenernya kisahnya lebih horor lagi daripada itu. Gue kadang makan siang sama dia, gue kadang pulang atau pergi bareng sama dia karena kantor kita berdekatan dan rumah kita juga berdekatan.
Bagi orang2 di Kasus Pertama, mereka akan sekuat tenaga menjadikan kerja bener2 merupakan sepertiga kehidupan mereka. Sepertiga lainnya buat diri sendiri dan sepertiga lainnya buat keluarga dan atau pasangan dan atau teman2. Atau, kemungkinan lain yg biasa kita temui, ada bagian hidup mereka yg dihabiskan dengan melewatkan malam gak karu2an, dugem secara teratur sebagai pelarian (sori bagi yang tersinggung, bikinlah blog kalian sendiri. Blame it to Neng Sarah dan Mpok Jane, gue makin judes setelah baca blog mereka).
Yang mau gue bahas adalah Kasus Kedua.
Minggu lalu gue ikut seminar 2 hari ttg Change Management. Kuliah yang paling menarik sepanjang semester yang membosankan ini, kalo gue boleh bilang. Di akhir seminar di hari terakhir di 15 menit terakhir, pembicara kita Fr. Daphna Uriel, cerita ttg satu hasil penelitian yang sangat menarik ttg Organizational Culture. Penelitian ini dilakukan oleh Gideon Kunda, pengajar Sosiologi dan Labor Studies di Universitas Tel Aviv. Hasil penelitiannya dibukukan, judulnya Engineering Culture. (klik gambar di bawah ini untuk baca excerpt bab 1 dari buku ini).
Penelitian ini dilakukan di suatu perusahaan yang tidak disebutkan namanya, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan yang dimaksud adalah Intel, lebih tepatnya lagi, di bagian IT-nya. Atmosfir kerja di sana ditandai dengan informalitas, penekanan terhadap inisiatif, aktif, mengambil resiko, kurangnya struktur, tanpa jam kerja yang spesifik, bottom-up decision-making, open space workplace. Setiap pekerja diperlakukan sebagai anggota keluarga. Budaya organisasi yang kuat menyebabkan setiap pekerja mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi. Para pekerja sangat bangga dengan perusahaan (dan dengan dirinya sendiri karena bekerja di sana). Kesan yang dengan jelas tertangkap, org2 di sana adalah org2 yang pekerja keras, sangat involving, dan anehnya menikmati pekerjaan, bahkan kecanduan kerja. Dan ini semua tidak diserap dengan begitu saja oleh para pekerja melalui observasi, namun merupakan bagian dari proses pembelajaran yg dilakukan oleh pihak manajemen.
Fr. Uriel bilang, inilah perbudakan model baru. Jika perusahaan2 konvensional tertarik dengan setiap tetes keringat dan tenaga dan pikiran, yang bisa diberikan para pekerja buat perusahaan, maka kecenderungan mutakhir perusahaan adalah lebih dari itu. (not only your sweat but also your soul).
"Power plays don't work. You can't make 'em do anything. They have to want to. So you have to work through the culture. The idea is to educate people without them knowing it. Have the religion and not knowing how they ever got it!"
-Dave Carpenter, Senior Manager di perusahaan tersebut, telah menebus posisinya dengan berbagai hal termasuk perceraian.
"It's a fascinating company. I could watch it forever. Today I'm doing culture with the new hires. I tell them about how to succeed here. You can't do just the old nine-to-five thing. You have to have the right mindset. It's a gut thing. You have to have the religion. [...] And I tell them the first rule: 'Do What's Right'. It's the company's slogan, almost a cliche, but it captures the whole idea. 'Do What's Right'. If they internalize that, I've done my job. My job? They come in in love with the technology; that's dangerous. My job is to marry them with the company."
-Ellen Cohen, juga di manajemen. Dulu engineer juga trus burn-out trus dibiayai perusahaan melakukan penelitian dan training ttg company culture.
Mereka bukan lagi bicara ttg sign and symbol dalam budaya yang diterapkan di perusahaan, namun lebih jauh lagi, menurut sertakan konsep2 berikut: family, marriage, religion ke dalam perusahaan.
Buku ini juga membahas tentang Culture and Control, pergeseran penerapan kontrol dalam budaya perusahaan yg dulunya menggunakan utilitarian control (menggunakan tekanan ekonomi untuk membuat pekerja comply dengan aturan2 perusahaan), menjadi usaha untuk menerapkan normative control (usaha untuk mengontrol pekerja dengan cara mengontrol pengalaman, pikiran, perasaan pekerja yang pada gilirannya akan menuntun perilaku mereka). Dalam normative control, pekerja tidak lagi bertindak berdasarkan evaluasi, reward, atau punishment, melainkan berdasarkan pengidentifikasian diri dengan tujuan perusahaan, kepuasan intrinsik, dan komitmen internal. Walaupun ide mengenai hal tersebut sudah sejak hampir setengah abad yang lalu digaungkan, namun penerapannya adalah hal lain lagi.
Sekarang. Jika dalam perusahaan umumnya, kita dateng jam 8 dan pulang jam 5 dan di luar itu kita bisa bilang peduli setan dengan perusahaan, maka di perusahaan ini, kita "membawa" pekerjaan kita 24 jam sehari. Menganalogikan bahwa kita tidak menanggalkan agama kita sedetik pun, perusahaan ini adalah contoh yang mengincar agar pekerjanya membawa pekerjaannya ke manapun, dalam makannya, dalam mandinya, dalam tidurnya.
6 Comments:
At 8:52 AM, Anonymous said…
Gw selalu suka baca blog ini. Mulai dari masih penuh sama komen, sampe komennya ilang semua... Ini blog pertama yang menginspirasi gw untuk bikin blog juga. Waktu itu nemunya di BlogWise. Boleh gw link di blog gw ga??
At 3:08 PM, amel said…
Dear Farrah.
Gue udah baca blog loe yg di Friendster ;-) dengan quote dari Schopenhauer di headernya.
Gue bakal sering ke sana, tapi sori, gue sengaja gak nge-link blog2 yg ada di Friendster ke blog gue ini, karena beberapa sebab.
Btw. salam kenal ;-)
At 7:12 AM, Anonymous said…
kenapa sekarang "tampilannya" sangat girly so pinky...jd "susah" bacanya...but any way...jenis pekerja yang tersedia adalah BEKERJA CARI UANG...atau UANG CARI KITA?...kalau di kontra dengan buku jenis Robert Kyosaky (Cash flow quadaran) pasti dia akan "nyela" org2 yg di "perbudak" oleh pekerjaan, ...mendingna ngikutin sarannya AA Gym..:d manajemen Qolbu...pasti semua jenis pekerjaan akan happy2 saja di jalanin apa pun pekerjaan itu...karena akan sangat MENYEDIHKAN..kalau karena pekerjaan KELURGA dan PERKAWINAN hancur BERANTAKAN...:d..
At 10:20 AM, amel said…
Bam. Kayaknya dari tahun lalu juga blog gue pink kali...?
yes gue setuju. idealnya memang bukan kerja sama orang, idealnya sih bikin usaha sendiri, atau ngajar, atau jadi petani aja (ehem), atau jadi penulis (ehem ehem), atau jadi petani yang menulis (gue ngomong apa sih), atau yg dibilang Kiyosaki ituh.
dan lebih2 lagi gue setuju, pekerjaan jgn sampai merusak kehidupan lain kita, hehe.. kerja utk hidup atau hidup utk kerja sih? ah. tapi lagi2 kan tiap orang punya "meaningful life" yg beda2 ya. kok gue jadi menghakimi begini.
anyway. elo udah balik nih, dari Batam? usul gue ya Bam, elo bikin blog deh. cepat atau lambat, hanya masalah waktu, sampai elo bikin blog sendiri dan melaporkan perjalan2 loe ituh, hehe...
At 1:57 AM, Anonymous said…
Karena semua terhubung dalam sebuah lingkaran yang sadar tidak disadari saling menorehkan pena sejarahnya di masing-masing bagian. Teruslah berkarya!
At 5:12 AM, amel said…
Helo anonymous! ;-) thx for coming by.
Post a Comment
<< Home