Anti Friendster
Booming Friendster sudah lewat...
...setidaknya buat orang2 di sekitar gue. Sudah lewat zaman2nya di mana setiap orang yang gue temui bilang, "add gue di friendster loe dong!" "friends loe udah berapa?" "bikinin gue testimonial dong!"
Booming Friendster sudah lewat...
...meninggalkan kita banyak cerita, yang bikin geleng2 kepala, yang bikin ketawa2, yang bikin bete abis. Menurut penuturan temen gue (Arya, Berlin 6 November 2005), temannya (berarti second degree friends gue, hehehe) sempat punya 60 account friendster. ENAM PULUH ACCOUNT FRIENDSTER. gak tau deh gue siapa aja yang dia add.
Ada beberapa kemungkinan alasan kenapa Friendster ini reda juga pada akhirnya: Satu, mereka sudah bosan dan pindah ke mainan baru. Dua, sekarang gue tinggal di Fulda yang terpencil dan sudah gak ada orang baru yang gue temui. Tiga, Empat, Lima, silahkan isi sendiri, kemungkinannya tak terbatas. Gue gak mau ngelanjutin ngisi karena sebenernya bukan ini yang mau jadi topik gue kali ini.
Topik gue kali ini justru para oposisi dari friendster yang sudah lama kita semua pasti amati keberadaannya. Yaitu para Anti Friendster (meminjam istilah Teguh, Jakarta 27 Maret 2005). Sebenernya sulit bagi gue untuk mendefinisikan siapakah mereka ini, karena dari sedikit temen2 gue yang anti friendster, mereka juga gak bisa digeneralisasikan. Sama seperti mereka yang punya account friendster juga gak bisa digeneralisasikan (setidaknya bisa dibagi menjadi friendster freak, friendster player, dan friendster simpatisan). Hanya satu persamaan para anti friendster, yaitu memilih tidak punya account di friendster. Kenapa?
Inilah dugaan awal gue sebelum gue bicara dari hati ke hati sama mereka (sahhhh). Mereka gak main friendster karena:
1. Sibuk, gak punya waktu.
2. Gak ada akses internet yang agak2 bebas.
3. Gatek.
4. Nyentrik.
5. Anti konformis.
6. Pemalu
7. Kriminal yang lagi buron setelah melakukan tindak kejahatan (tebak, gue becanda atau serius?)
Setelah sedikit cari tau, kurang lebih gue dapet konfirmasi bahwa kurang lebih demikian adanya (hehehe).
Gue berperan sebagai orang paling pengen tau di seluruh dunia bertanya: "Kenapa sih elo gak punya account friendster?"
R (adik gue, sebenernya dulu dia punya account friendster, tapi abis itu diapus) bilang: "susah ngurusinnya!"
well well iya juga ya. repot banget. ngasih makan, nganterin tidur, beliin baju... repot... repot... mana ada waktu... salah sih gue, seharusnya gue tanya orang yang punya waktu luang banyak dan punya akses internet hampir2 tak terbatas ya.... seperti sahabat gue N. Coba kita tanya dia.
N (suka browsing friendster tapi gak punya account friendster) bilang: "ya ampun Mel, temen gue tuh cuma elo sama V doang, ngapain juga gue bikin2 friendster!"
hehe... mengenai ini, nanti gue akan bahas lebih mendalam di bawah, sekarang gue terusin aja dulu ya. Nah, apakah ada hubungannya antara jumlah teman dengan keputusan bikin friendster? (kalau teman banyak maka bikin friendster, kalau teman sedikit maka gak bikin friendster). Sepertinya tidak ada hubungannya saudara2, kalau kita cermati apa kata M berikut ini...
M (dulu juga pernah punya, terus diapus) bilang: "aduh pusing gue, pada minta testimonials, pada kirim2 message, udah gue apus2in tapi muncul lagi muncul lagi, gue stress gue apus aja!"
hmm.. ngapain ya ngapus2in message??? temen gue yang satu ini gabungan antara panik, gatek, kebanyakan temen, terlalu sibuk.
B bilang: "Gue kan udah ada di friendster loe...? Nama gue **** (BLT juga loh yak.... muahahahaha)Dasar bocor..."
waduh salah nanya gue... jadi malu... sori say, udah lama gak buka friendster nih... (alasan)
T (murni anti friendster) bilang: "gue seneng kalau orang gak tau gue, gue seneng ilang"
Kriminal yang lagi buron setelah melakukan tindak kejahatan! sori T tapi gue serius.
V (punya friendster tapi gak pernah dibuka sejak 1000 tahun) bilang: "gue lupa passwordnya."
V lain bilang: "Friendster elo jadiin patokan???" (sebenernya dia udah lama ngomong ini dengan nada sinis, walaupun bukan ngomong ke gue tapi tetap gue kutip)
R lain bilang: "kok seperti kayak kurang kerjaan nyari temen ke mana mana, emang temen di sekeliling kurang apa?"
I bilang: "gak ada waktu Mel."
jawaban yang tepat, jelas, singkat, dan bener2 mencerminkan dia gak ada waktu, hehehe... peace mbak.
I lain bilang: "friendster apaan sih?"
GUBRAK!!
oke, gue kasih kesempatan untuk jawab sekali lagi.
Kenapa sih elo gak ikutan friendster?
I lain (zweite Versucht) bilang: "lebih kemasalah karakter dan pribadi seseorang aja. bagi kebanyakan orang mungkin itu adalah suatu komunitas yg trend, ajang untuk aktualisasi diri(dalam arti pengakuan lingkungan) dsb dsb... pertama aku masuk kesitu waktu itu krn penasaran aja, apa sih itu, club apa ya, tertarik juga awalnya. tapi setelah masuk makin dalam dan membaca bbrp pernyataan2 dari penduduknya, visi sebenarnya bukan pure relationship, tapi lebih ke arah..ya itu tadi..ngerti deh maksud gw..."
Hhhhh.... capek gue bertanya2 lagi. Sudah cukup sampai di sini. Kesimpulannya silahkan kalian bikin sendiri. Hikmah di balik tulisan gue kali ini silahkan kalian pikirkan sendiri.
Satu topik yang agak2 nyambung pernah didiskusikan di kelas gue semester lalu. Btw, jurusan gue adalah Komunikasi Antar Budaya. Di salah satu kelasnya pada suatu hari kita lagi ngomongin contoh2 kasus lexical rich points pada budaya2 yang kita kenal. Mungkin pernah kalian temui, satu kata dalam bahasa asing tidak bisa kita terjemahkan dalam bahasa kita (atau sebaliknya). Karena kata tersebut punya sejarah atau kaitan yang sangat erat dengan budaya lokal dan tidak semua bahasa lain punya padanannya, atau bahkan tidak ada bahasa lain di dunia yang bisa kasih padanannya. Untuk mengerti kata itu setidaknya kita harus punya latar belakang pengetahuan minimal ttg budaya tsb.
Lalu ada juga kata2 yang dengan mudah kita temui terjemahannya dalam setiap bahasa di dunia, namun nuansanya tetap tidak sama di setiap budaya. Misalnya kita buka kamus Indonesia-Jerman, maka teman = Freund.
Begitukah?
Di Indonesia, teman di definisikan dengan lebih longgar. Semua orang yang sekelas dan pernah sekelas sama gue adalah teman gue, semua yang gue kenal adalah teman gue, temen2nya temen2 gue adalah temen2 gue, orang2 yang satu tempat kerjaan dan makan siang bareng gue adalah temen gue, orang2 yang gue tau rumahnya atau nomor telponnya adalah temen gue, blablabla... Namun di Jerman, di dalam kata Freund adalah tanggung jawab yang besar. Ada komitmen di sana. Yang menyiratkan bahwa "gue bakal selalu ada buat orang ini setiap kali dia butuh gue". Yang butuh waktu dan banyak sekali kebersamaan untuk menciptakannya.
Tidak heran jika kemudian orang2 Indonesia yang gaul-gaul (namun bukan artis) bisa sampai punya 2 atau 3 account friendster. Yang biasa2 pun bisa sampai punya ratusan teman. Sementara gue baca di salah satu artikel Jakarta Post kira2 tahun lalu, jumlah teman di friendster dibatasi 'hanya' 500 orang, karena memang umumnya dalam budaya Barat 500 orang teman dalam satu kehidupan seseorang adalah jumlah yang memang sudah luar biasa banyaknya. Jika orang Indonesia yang bikin friendster (temanster? hehehe), mungkin batas jumlah teman adalah 5000. Tidak heran sama sekali.
Yang heran adalah jika kemudian sahabat gue N (lihat contoh kasus di atas) bilang bahwa temannya cuma gue dan V. Ini semua memang adalah masalah definisi. Tapi elo tuh dibesarkan di budaya mana sih N???
Buat T, yang baru sangat singkat gue kenal, tapi sudah gue sebut temen gue. sayangnya elo anti friendster. bukan berarti gue kekurangan orang di friends list gue, tapi gue mau tau aja apa kira2 yang bakal elo bilang di testimonial buat gue seandainya elo punya account friendster? hehe..