about a girl

A grandfather was walking through his yard when he heard his granddaughter repeating the alphabet in a tone of voice that sounded like a prayer. He asked her what she was doing. The little girl explained: "I'm praying, but I can't think of exactly the right words, so I'm just saying all the letters, and God will put them together for me, because He knows what I'm thinking." -Charles B. Vaughan

Monday, August 29, 2005

Dream Chocolate 2005


Pertama kali didatangkan ke Eropa, karena terbatasnya penawaran maka coklat hanya terjangkau oleh kalangan bangsawan, dikonsumsi secara terbatas, dan menjadi simbol status. Inilah Amel dari Prancis, 2 abad yang lalu:

Putri Amel, Tuan Putri ingin minum apa? Baru saja tiba bir2 terbaik dari Brusel kemari yang diantar langsung oleh pemilik pabrik bir. Apakah Tuan Putri ingin mencicipinya?

Apaaaa??? Hare genee minum bir??? Pelayan! Jangan menghina saya! Itu kan minuman rakyat jelata! Bawakan saya coklat! Apaaa??? Harga coklat naik lagi? Gak mau tauuuuu!!! Segera minta Raja menaikkan pajak!! Segera minta Royal Navy berlayar cari negara baru yang punya coklat dan jajah mereka!!!


Dulu coklat dihidangkan berupa minuman. Pengolahan biji coklat menjadi seperti yang umum kita kenal sekarang ini (coklat2 padat) ternyata baru2 saja ditemukan secara tidak sengaja oleh perusahaan pengolah coklat yang terkenal dari Swiss, Lindt. Pada akhir abad 19, seorang operator mesin di Lindt tidak sengaja membiarkan mesin pengaduk coklat terus menyala sepanjang week end ketika mereka libur. Hari Senin pagi, yang mereka temukan adalah sesuatu yang ternyata menjadi sejarah dalam dunia pengolahan makanan.

Pada akhirnya, coklat tidak hanya menghiasi catatan para koki dunia, namun juga dibahas abis oleh para ilmuwan, nutrisionis, sastrawan, pemasar, ahli aphrodisiac, para kasmaran, dll.

Dalam dunia gue, coklat identik dengan V. Banyak sih orang di sekitar gue yang suka coklat, siapa sih yang enggak? Kalau ada yg alergi coklat gue sih turut berduka cita sedalam2nya. Tapi V bener2 keterlaluan. Bagi dia gak cukup cuma makan coklat aja. Dia sampe belajar bikin coklat, bercita2 bisnis di bidang coklat, ngumpulin resep coklat, cetakan2 bikin coklat, tau trik2 bikin coklat dan semacamnya.

Makanya ketika gue baca tentang pameran coklat di Semanggi, orang pertama yang gue hubungi adalah V.

Jakarta Chocolate Expo 2005 diadakan di Semanggi Expo Hall B tgl. 25, 26, 27 Agustus yang lalu. Pameran yang tertutup buat anak2 usia di bawah 16 tahun ini sayangnya diadakan di tempat yang lumayan susah aksesnya, itu rupanya yg membuat pameran tsb gak serame yg gue bayangin. Stand2 pameran tidak hanya disewakan kepada perusahaan2 coklat, tapi juga roti, kue, es krim, kaos, dll yg ada hubungannya maupun tidak ada hubungannya dengan coklat. Setiap stand menyediakan cemilan2 yg bisa dicicipi pengunjung. 30 menit di sana gue udah enek abis liat coklat.

Tidak hanya itu, ada juga patung berbentuk perempuan dengan ukuran asli yang diukir dari coklat. Lalu istana besar sekali yang terbuat dari coklat. Menurut jadwal acara, di panggung utama ada juga agenda fashion show di mana diperagakan baju2 yang terbuat dari coklat asli, demo membuat coklat oleh para ahli, dan lain-lain.

Di tengah itu semua ada mesin ukuran besar pembuat coklat yang bentuknya seperti air mancur. Bukan air yang mereka putar namun coklat, yang bisa kita colek2 pake biskuit yang disediakan sponsor.

Tapi jangan bayangkan di sana seperti di negeri di awan, di mana istana coklat dan kolam coklat aman dari tangan jail, hehe… Yang gue liat kemarin adalah pertunjukan kampungan dari para pengunjung! Istana coklat di sana sudah gopel2 dicomoti pengunjung padahal tertulis di sana "bukan untuk dimakan", padahal itu baru hari pertama gitu loh, gimana kondisi istana itu pada hari terakhir ya? Dan air mancur coklat? Saking kemaruknya, beberapa orang yang cukup kampungan menadahkan gelas dan wadah2 lain untuk bawa pulang coklat itu. Yang gak punya wadah malah pake botol bekas air kemasan. Hmmm… coba gue bawa kamera gue masukin sini deh foto orang2 norak.

Creative Commons License

Sunday, August 28, 2005

Edisi Delivery: Bakmi GM


Hari ini, gue mau cerita ttg apa yg gue makan pada jam makan siang di hari kerja.

Waktu gue baru datang ke Jakarta, untuk mengkalibrasi sistem pencernaan gue, gue bawa makan sendiri dari rumah. Dalam pikiran gue, jangan sampe gue kollapse gara2 daya imun perut gue yg berubah manja berkat didikan Fulda.

Akhirnya gue kollapse juga sih, tapi gara2 hal lain, yaitu kena AC, norak banget kan, sampe diketawain gitu gue sama bapak ini.

Sebenernya gak sedramatis itu sih. Terakhir gue di Jakarta bulan Februari yang lalu, gue tidak merasa perlu menyesuaikan diri dalam hal apapun termasuk makanan. Justru seminggu sebelum balik ke Fulda pencernaan gue terganggu sampe gue gak bisa ngapa2in.

Kata nyokap gue sih sakit gue itu lebih ke psikologis krn gue mau pisah lagi sama dia, weleh. Sekarang kalian tau PD gue ini gue dapat dari mana.

Mulai minggu kedua di sini, bokap-nyokap gue mudik, jadi selalu ada makanan sisa yg bisa gue bawa ke kantor keesokan harinya. Namun lama setelah itu, setelah perut gue kebal sama kuman2 jalanan di Jakarta, hehehe, kebiasaan bawa makan dari rumah tetap gue jalani. Karena gue terlalu males buat keluar cari makan *Jakarta gitu loh, panas bener*, sementara dapur di kantor sangat nyaman, ada microwave dan kompor utk manasin makanan, ada piring sendok garpu lengkap dll.

Kadang-kadang memang gue gak bawa makan dari rumah, antara lain saat gak ada makanan di rumah *ya iyalah, plis deh Mel* atau saat gue udah janjian mau makan siang sama temen2 di luar, contohnya hari ini ketika mbak R dan A sudah bosen abis sama makanan yg dijual di sekitar kantor, mereka ngajakin bareng2 pesen antar makanan dari Bakmi GM.

Ini pembicaraan gue di telpon tadi siang ketika pesen makanan.
Cetak tebal adalah si penerima pesananan gue. Cetak miring adalah apa yg terlintas di pikiran gue namun tak terucap, sementara cetak biasa adalah yang keluar dari mulut gue.

Selamat siang, saya mau pesan antar.

Selamat siang. Pesan antar ya. Nomor teleponnya berapa Bu?
Pertama, gue bukan Ibu. Kedua, rupanya nama gue dan pesenan gue gak seberapa penting dibandingin nomor telpon gue, makanya itu duluan yg pertama2 mereka tanya.
7399 XXX ext. 839

7399 XXX ya, dengan kantor X ya Bu ya? Alamatnya di Jalan X nomor 5? Kebayoran Baru?
Apakah gue bener pencet nomor telepon Bakmi GM atau gue salah sambung ke CIA atau FBI ya mas ya?
Iya benar…

Dengan Ibu siapa?
Gue ampir mati kelaparan…
Dengan Amel.

Pesenannya apa Bu?
Akhirnya…
Bakmi Goreng Seafood satu, ukuran kecil ada gak ya mas?
Gak ada Bu, semua standar.
Gue bukan ibu loe huhuhuhu….
O ya udah, yang standar satu.
Special atau biasa?
Apa bedanya ya?
Bedanya apa ya mas?
Kalau spesial, pake telur mata sapi.
Hmmm… apa spesialnya ya telur mata sapi mereka?
Biasa aja mas.
Itu saja Ibu?
Elo pikir cukup gue makan segitu doang? Hehehe…
Terus sama Bakmi Ayam Spesial satu dan bakso kuah satu juga.
Baksonya yang isi 10 atau 5?
Tergantung sih mas, ukuran baksonya seberapa. Btw, kuahnya tolong 10 sendok. Eh, tapi itu tergantung ukuran sendoknya juga sih, hehe..
5 aja.

Oke Ibu, saya ulangi ya pesanannya [blablabla] Jadi total pesanannya sekian ribu Bu. Kalau di bawah 50 ribu begini tetap kami antar tapi ada biaya antarnya 5 ribu rupiah, gimana Bu?
Kalo nganterin gue pulang ke rumah gratis dong mas? Kan harga gue lebih dari 50 rb rupiah pastinya?
Antar aja mas.
Ibu mau bayar pake uang pas atau perlu kembalian?
Siapin kembalian deh mas.
Uangnya berapaan ya Bu?
Haaa? Mereka becanda ya? Gak sekalian aja mas tanyain gue mau bayar pake rupiah atau Euro? Kalau gue bayar Euro, sekalian aja mas itung inflasinya berapa kira2 pada saat mas nyampe sini nanti. Kan nilai rupiah naik turun tuh mas.
Mmm.. 50 ribu-an.

Baik. Ini mau diantar jam berapa ya Bu?
Enaknya sih sebelum gue pulang kantor.
Tolong jam 12 ya mas.
Jam 12 teng?
Ya Tuhan, siapa juga yg mau merhatiin elo dateng jam 12 teng atau jam 12 lebih satu detik?
Sebaiknya gak lewat dari jam 12, sebelum jam 12 juga boleh.

Begitulah pengalaman pertama gue pesan antar Bakmi GM. Ternyata bukan pelayan Starbucks aja yg punya bakat jadi pewawancara. Hehe.. untungnya gue seleb, jadi gue biasa lah diwawancara (selebor maksud gue).

Yang jelas, perjuangan gue untuk pesen Bakmi GM sebanding lah sama rasa makanan yg mereka antar. Hmm.. siapa sih yg gak tau Bakmi GM? Dengan cabang di mana2 yg selalu diantri. Tak kenal jam, resto mereka selalu ramai diserbu pengunjung.

Sejalan dengan ketenaran, selalu bertambahlah peredaran isu tak sedap di telinga. Sama halnya dengan karir gue yg semakin menanjak semakin mengundang gossip *huhuhuhuhu*, begitu pula dengan Bakmi GM. Ada yg bilang Bami GM punya jin lah, makanya Bakmi GM tidak melakukan franchising. Ah, whatever. Hare gene kok dengerin rumor?

Creative Commons License

Friday, August 26, 2005

Mens Sana in Corpore Sano?


Entah ini adalah anugerah atau kutukan, tapi gue beredar di lingkungan yang orang2nya begitu tergila2 dengan kesehatan. Terobsesi.

**********


Pertama, Nancy, sahabat gue sejak SMA. Dulu waktu SMA, dia minum segala macam vitamin dan minyak ikan di rumahnya, kalau di sekolah jajanannya jamu dan buah segar yang udah dipotong2. Weleh… menjelang UMPTN, ketika para pemasar lagi gencar mengiklankan Gibolan, gue dan Vana terbawa2 Nancy malah punya langganan jamu setiap pagi jam 6 di deket sekolah. Kita gak peduli dengan kondisi daya ingat kita, yang kita cemaskan adalah pengaruh stress menjelang UMPTN terhadap kesehatan dan kecantikan kulit kita… (sahhhh). Pernah suatu kali kita kepergok lagi minum jamu oleh salah satu cowok jail di sekolah kita, dan sejak saat itu tersebar desas desus bahwa gue, Vana, dan Nancy dopping jamu menjelang UMPTN.

Keadaan Nancy diperparah dengan adanya calon suaminya yang gila makanan hygienis. Pada saat2 langka di mana gue berhasil menyeret mereka untuk makan bakso di pinggir jalan, calon suaminya itu selalu bilang, “jangan pakai penyedap rasa, jangan pakai cabe nya kita kan gak tau udah berapa hari itu cabe dibikin.” Weleh… gue gitu lhooo… mana peduli, bukankah motto gue dan temen2 KSM gue yang doyan2 makan itu adalah, “biarlah itu kita serahkan ke bisa2nya perut kita yang mengatur…” hehe, jadi tetep aja gue pakai sambel semerah mungkin lengkap dengan resiko apapun terhadap lambung yang menyertainya…

Kedua,
Vana, sahabat gue sejak SMP. Sejak gue kenal dia sampai hari ini 13 tahun kemudian, dia adalah orang yang terobsesi dengan makanan2 sehat. Mungkin karena dia bukan orang Jawa maka dia gak terlalu heboh dengan jamu. Dia lah temen gue yang tau luar kepala apa khasiatnya tomat, wortel, bayam, blablabla.

Vana, dengan nada sales sejati: Ini bagus Mel, mengandung vitamin A yang baik buat mata dan vitamin C yang mengikat oksidan2 bebas penyebab kanker.
Gue, totally clueless: Bentar, bentar Van… pelan2… oksidan2 bebas itu apa ya? Kanker itu apa ya? Vitamin A dan C itu apa ya? Elo abis baca buku NASA ya? Ttg planet Pluto?


Pengetahuan gue ttg vitamin adalah sebatas ini:
Mel, apa akibatnya kurang vitamin C?
Mati.

Mel, apa akibatnya kurang vitamin A?
Mati.

Mel, apa akibatnya kurang vitamin D?
Mati.


Penjelasan: Kita adalah manusia2 fana. Apa pun itu, suatu saat kita akan meninggal juga.

Mel, apa akibatnya kalau kesehatan kita prima, mengkonsumsi serat 30 mg setiap hari, dan olahraga secara teratur?
Tetep mati juga sayang, berusaha ngejebak gue ya… *rolling my eyes*


Vanalah yang setiap hari sibuk minum jus campuran buah dan sayur yang bebas gula buatan sendiri di rumah. Dia juga minum teh ijo nya Cina yang pahit itu. Kalau gue bercita2 beli mesin kopi lengkap, maka di rumahnya dia punya mesin bikin juice yg tercanggih di pasaran, yg gue takut nyentuhnya, takut meledak. Sebenernya obsesi dia terhadap kesehatan udah mulai mengarah ke gangguan psikologis karena setiap baca buku2 tentang penyakit, dia pasti langsung curiga dirinya menderita penyakit itu. Setiap dia menemukan sedikit gejala2 yang mencurigakan di tubuhnya, dia pasti langsung panik: apakah ini kanker? Hehehe…

Ketiga, temen serumah gue di Fulda, Sebastian, orang Polandia yg belajar Oecothropology (teknologi pangan kali ya bhs manusia-nya). Selain gara2 pelajarannya di kampus, di Polan keluarganya semacam peternak gitu deh (Bauer bahasa Indonesianya apa ya?), jadi seumur hidupnya dia selalu makan makanan2 yg sehat. Susu hasil merah sapi sendiri, sayur mungkin juga hasil ladang sendiri, blablabla. Sekalinya dia keluar negeri, dia magang di Finlandia, di mana kebijakan pangan pemerintahnya sangat strikt. Untuk semua produk susu (misal: susu cair, joghurt, mentega, dll.) yg beredar di Finlandia, hanya boleh mengandung lemak maksimal 0.5% (fettarme). Begitu dia ke Fulda, dia pusing, dia bilang susu dan makanan2nya berlemak semua.

Gue pikir, sejak di Jerman makanan gue ini sehat banget. Semua gue masak sendiri dari bahan2 fresh, tanpa penyedap rasa, tanpa pengawet, dengan minyak sayur atau minyak biji bunga matahari (Sonnenblumenöl, bener gak sih terjemahan gue). Tapi ngeliat cara Sebastian masak bikin gue stress. Dia gak pernah sekali pun makan makanan2 yg digoreng. Semua direbus. Bahkan bikin perkedel pun direbus (tanya Shinta deh kalau gak percaya, dia pernah mergokin Sebastian ngerebus perkedel). Sementara gue? Judulnya sih sayur, tapi ditumis. Judulnya sih sop, tapi sambelnya ... weleh weleh. Pastinya Sebastian lebih stress lagi liat gue masak, dapur kita jd bau sambel goreng, matanya pasti berair huahuhauhaha....

Kalau Sebastian bikin salad? Hmmm.. sebaskom penuh utk sekali makan, udah gitu mentah tentu, terus makannya dicampur sama joghurt! Bandingkan sama gue yg kl bikin salad, terutama saat2 terakhir gue di Fulda gue doyan Eisberg salad, daun2nya gue robek2 terus makannya gue campur sedikit garem, sedikit minyak, sedikit peresan jeruk nipis, hahaha, ini udah makanan yg paling sehat yg pernah gue makan sepanjang sejarah eksistensi gue.

Keempat, nyokap gue. Sejak bokap gue operasi jantung sekian belas tahun yang lalu, di rumah kita hanya makan masakan2 yang mengandung sesedikit mungkin garem (hanya sekedarnya supaya kita gak gondokan). Pantesan gue anyep kan… Udah gitu kalau gue ngeluh ini itu tentang kesehatan, jawabannya cuma satu: kurang makan sayur.

Maman, aku panas dalem.
Kamu kurang makan sayur!

Maman, rambutku rontok abis.
Itulah akibat susah makan sayur!

Maman, aku udah seminggu insomnia…
Makanya makan sayur dong, tuh Ibu masak daun pepaya pake pare di-pete-in campur jengkol, abisin!
*mendingan insomnia deh gue*

Maman, [blablablabla]
Lihat adik2 kamu tuh, doyan sayur, makanya kulitnya bagus, rambutnya bagus, suaranya bagus, matanya bagus, nilai2 kuliahnya bagus, pacar2nya bagus2…. Dasar bintang Leo, karnivora sih makanya susah kalo dikasih sayur…
Apa? Apa? Pacar2nya bagus2? Sini mana sayur, mana sayur, gue aja yang ngabisin sayur hari ini!



Waktu tahun lalu gigi geraham belakang gue mulai tumbuh dan merobek gusi dan sakitnya minta ampun:
Maman, gigi geraham belakangku lagi tumbuh nih, aku kurang makan sayur kali ya?



Kegigihan nyokap gue utk nyuruh gue makan sayur bener2 harus gue acungi jempol. Gue inget dulu pas kita masih kecil2 dan polos2, saking pengennya anak2nya makan sayur, nyokap gue sampe masukin wortel ke dlm bumbu spaghetti! Mentang2 warnanya sama2 merah gitu loh, nyokap gue pikir itu kamuflase yg sangat sempurna!

Belum lagi keharusan kita sarapan dan minum susu sebelum sekolah. Aduh, ini penyiksaan lain lagi. Gue gak suka sarapan, lebih2 minum susu. Kalau sarapan okelah gue gak bisa menghindar. Kalau minum susu? Gue tunda selama mungkin minumnya. Gue bilang gue enek dan mau muntah kl minum susu panas, jd pagi2 pas adik2 gue minum susu, susu jatah gue disimpan dulu di kulkas. Yang harus gue abisin hari itu juga pokoknya. Tapi yah mendingan lah, susu yg udah dingin itu seenggaknya tidak berbau, hehe...

Sejak gue lulus SD dan mengeluh ini itu yang berhubungan dengan masalah2 perempuan, nyokap gue ini punya hobby tambahan: sibuk mencekoki jamu ke gue. Mulai dari jamu bubuk instant produksi pabrik, jamu2 fresh tradisional buatan rumah buatan temennya di Bangil, jamu2 dalam bentuk pil juga buatan rumah tapi entah rumahnya siapa, sampai ke jamu buatannya sendiri. Kalau dia ke pasar, oleh2 buat gue adalah jamu pahit yang harus gue minum atau mendengar cerewetnya (pilihan yang sangat gampang bagi gue. Mendingan minum abis lah cairan pahit itu, kikikiki). Kadang gue stress juga sih, jadi anak perempuan satu2nya di rumah. (Biasanya nyokap gue pasti langsung nyahut begini: Kadang Ibu juga stress sih punya anak perempuan satu repotnya kayak punya enam). Jamu buatan nyokap gue itu hasil rebusan campuran daun2 yang namanya pun gue gak pernah berhasil ngapalin.

Hari ini, dia bikin lagi jamu. Kalau di iklan2 kopi, orang2nya terbangun karena harum kopi maka hari ini gue terbangun karena aroma pahit jamu …

**********


Ke-empat orang di atas adalah orang2 yang sangat sehat fisiknya. Sekaligus termasuk orang2 yang paling sakit jiwanya *huhuhuhuhu*. Jadi terbukti kan, "dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat" adalah omong kosong belaka!!! Bwahahahah...

Creative Commons License

Tuesday, August 23, 2005

Finding Blok S


Beberapa hari yang lalu, sekitar jam 15, ada telpon masuk ke HP gue, nomor yang muncul di layar adalah nomor HP bapak ini, tapi ketika gue angkat yang gue denger adalah suara om-om gitu, kaget gak sih gue? *enggak juga sih*

Setelah berpikir keras menggali2 ingatan daftar om-om di kepala gue, akhirnya ketemu satu nama yg cocok sama suara tersebut: Om Je. Hmm… tau aja sih kalau gue gak bakal angkat telpon dari dia, makanya dia pake HP orang lain. *huhuhuhu*

Akhir2 ini gue lagi gak mood nulis, cuma barusan gue baca satu versi cerita malam itu, jadi gue terkompori buat nulis juga cerita tentang malam itu. Orang bilang, ada dua sisi dari setiap cerita, makanya gue pikir bagus juga kalau gue tulis sisi ketiga, hehe… yaitu sisi makanannya.

Nah, lanjut kembali ke cerita telpon Om Je. Begini petikannya,

Mel, gue lagi sama anak-anak mau nonton nih, elo mau ikut gak?Yah Om gimana sih, kan gue ngantor, ntar sore2an aja deh nontonnya, gue ikut deh.
Emang gak sekarang. Kita masih di Pasar Festival ini, masih mau cari makan dulu. Elo pulang kantor jam berapa?
Jam 16.30. Pada mau nonton di mana sih?
Gak tau, di mana aja.
Ya udah, abis makan kalian mau ke sini atau kita ketemu di suatu tempat?
Mmmm… gimana ya, tanya I deh, dia yg nyetir. [blablabla] Kita jemput ke kantor loe aja deh Mel. Kantor loe di mana sih?
Di daerah Senayan, jadi kalau dari arah Thamrin menuju Senayan kalian [blablabla]
Eh tunggu, *pusing dengerin petunjuk jalan dari gue*, elo ngomong sama D aja deh.
[blablabla]


Emang mau nonton apa Om?
Gak tau. Ada film apa aja sih?
Kok nanya gue? Kayaknya gue yg paling kuper deh. Gue sih asik2 aja nonton apapun asal jangan Gie ya Om, gue udah nonton Gie.
Terus apa dong? Mau nonton Cinta Silver?
Aduh jangan film Indonesia dong Om.
Yah… gue maunya nonton film Indonesia.


Begitulah kurang lebih isi pembicaraan telepon kita. Tapi percuma sih gue tulis di sini, masalahnya semua rencana itu gagal total. Hahahaha.

Pertama, mereka gak muncul pada jam 16.30 di kantor gue seperti seharusnya. Pas gue telpon, masih pada on line di warnet Pasar Festival katanya. Oke. Kedua, setelah melalui rintangan2 menuju kantor gue, yang menuntut pengorbanan setara dengan (atau bahkan lebih berat daripada) jika ingin menundukkan Benteng Takeshi, akhirnya mereka mentok di Plasa Senayan (yeee… dari awal aja ketemu di PS yak, gak usah susah2 gue jelasin jalan). Ketiga, akhirnya kita gak jadi nonton sama sekali, karena udah kemaleman kalau mau nonton.

Akhirnya kita ngapain? Tur keliling Kebayoran Baru judulnya. Awalnya kita menuju Blok S. Tapi berhubung kita semua buta peta Jakarta, jadi akhirnya muter2 gak karuan berjam-jam, ngikutin petunjuk orang2 di jalan (terima kasih buat mas-mas, bapak-bapak, adik-adik, yang udah nunjukin jalan, dan buat mas-mas yg sempat melakukan percobaan ngasih petunjuk palsu, kasian deh loe gak berhasil menyesatkan kita lebih parah lagi), dan berakhir di Apotik Senopati yang cuma beberapa langkah dari kantor gue. Ternyata Blok S itu gak jauh dari Senopati. Memang butuh seumur hidup untuk kenal Jakarta.

Di Blok S kita pesen es macem2, es apa ya namanya? Es teler dan es kelapa muda kalo gak salah. Berhubung mereka semua udah pada makan jadi gue sendirian deh yg makan, padahal gue paling suka kalau pergi bareng2 tuh pesen makanan macem2, jd bisa saling nyicip. Anyway, gue beli Bakso Pak Kumis. Lumayan unik, cara mrk menyajikan, self service abis! Jadi kita ngantri di ujung meja, ambil mangkok, ambil sendok-garpu, tuang2 sendiri kecap dan macem2 saos, sambel ijo, daun bawang, cuka, garam, lalu di ujung antrian, baru deh dituangin bakso ke mangkok kita. "Bakso urat atau bakso daging? Berapa pentol?" Cuma itu pertanyaannya. Masih lebih banyak yang harus dipertimbangkan *sahhh* kalau kita beli bakso dari penjual bakso keliling.

"Mie kuning atau mie putih atau campur ya enaknya? Pake saos tomat gak ya? Pake tahu atau gorengan atau pake kuah gak ya? Mmmm… enaknya pake mangkok gak ya?"


wah… pokoknya pusing gue kalau beli bakso.

Well, bakso mereka lumayan enak, kuahnya gue suka, atau mungkin racikan saos yg gue tuang ke mangkok gue yang pas sehingga bakso mereka jadi enak, ckckck… emang manteb banget dah gue.

Blok S secara keseluruhan adalah tempat yg asik buat melewatkan malam, hehe, walau agak remang2 (atau justru karena remang2?) *hohoho*.

Creative Commons License

Monday, August 15, 2005

Nasi Gila di Tebet


Awalnya gue dan R keluar rumah hari Sabtu kemarin untuk menghadiri resepsi pernikahan teman kami M di Taman Mini. Gue dan R pake kebaya lengkap dong. Ketemu temen2 yang kuliah di Jerman tapi lagi liburan, atau pernah kuliah di Jerman dan sekarang sudah kembali tinggal di Jakarta. Ngobrol-ngobrol penting dan gak penting. Kenalan-kenalan sama orang2 baru. Bikin rencana untuk ngumpul2 dalam waktu dekat. Tukeran nomor HP. Standar banget lah. Gue udah hafal luar kepala.

Lalu kemudian, hari masih siang ketika gue dan R males langsung pulang, jarang-jarang ketemu gitu loh. Setelah proses brainstorming dan problem solving (aduh aduh), kita memutuskan untuk "nonton aja yuk!" Masalahnya gue sama sekali gak ada rencana nonton atau pergi ke mana pun setelah resepsi, jadi gue gak bawa baju ganti. Dan berhubung rumah gue terletak di Jakarta-hampir-coret, beberapa langkah dari perbatasan Jawa Barat, maka males banget gak sih gue balik dulu. Akhirnya kita memutuskan untuk nonton masih pake kebaya dan kain dan selop.

Sebelumnya kita mampir ke daerah Cempaka Putih untuk jemput T, orang pertama dan satu2nya yang kita ajakin dan cukup pede untuk nonton bareng cewek2 berkebaya, hehe, walaupun awalnya dia ngasih seribu satu solusi agar supaya gue ganti baju dulu. Lalu kita menuju TIM karena menurut T,

"di sana tempatnya orang2 aneh, tadinya gue mau ngajak kalian ke Jakarta Theater tapi kalau kebayaan begini mending ke TIM aja, gak bakal ada yang peduli."


Hmm.. gue lupa kalau T ini selebritis (pokoknya semua orang yg menghindari publikasi gue sebut selebritis).

Kita nonton Gie (akhirnya… setelah 4 kali week end gagal nonton Gie…). Mengenai film ini, agak2 sedih sih gue nontonnya, betapa Indonesia makin terpuruk aja dari masa ke masa. Setting film ini di sekitar Jakarta Kota thn 1940-an sampai 1960-an, secara fisik Jakarta mungkin sekarang lebih bagus penampilannya (walau hasil pembangunan boleh ngutang, "dan penyebab banjir", kata A temen magang gue), namun secara semangat rasanya sudah habis terkikis sampai ke akar2nya. Weleh berasa ngerti aja ya gue. Sebenernya di awal2 film gue agak2 bingung gitu sih. Gue gak bisa menangkap ekspresi nonverbal para pemain. Gak ngerti ini maunya apa. Banyak sekali pesan2 tak terucapnya. Bagi gue sih gak jelas, tapi T keliatannya lebih sensitif daripada gue, ya iyalah, jadi setelah film dia yg jelasin, hehe..

Nah, setelah nonton, T ngajak makan. Gue usul, "makan Nasi Gila aja yuk!" Sebenernya kita lagi lewat Menteng tuh, tapi berhubung T bilang Nasi Gila yang paling enak di Jakarta ada di Tebet maka gue menuntut pergi ke Tebet.

Rumah makan di Tebet yang kita kunjungi ada di pojokan jalan, di depan resto yang jual Mie Ayam Simpur (whatever it is). Dulu, sahabat gue M yang daerah kekuasaannya ada di Tebet, pernah mengiklankan ke gue sekilas rumah makan ini yang dulu cuma jualan Bubur Ayam Sukabumi aja tapi sekarang ternyata juga jualan Nasi Gila.

Gue dan R pesen Nasi Gila sepiring berdua berhubung kita gak lapar2 banget. Dan T pesen bubur ayam. Bubur ayamnya aneh deh. Pake telur gitu, baru kali ini gue liat tapi konon memang bubur ayam Sukabumi tuh emang begitu. Jadi bubur yang lagi panas2nya "disiram" telur ayam mentah dan telur itu jadi mateng di piring saking buburnya panas, begitu penjelasan T.

Nasi Gila-nya? Enakkk banget, serius gue, bahkan bagi lidah gue enak banget. Nasi Gila itu terdiri dari nasi goreng putih pakai telur yg diorak-arik, lalu lauknya itu daging campur macem2 sea food (setidaknya gue liat ada udang dan cumi), dan bumbunya sangat sedap rasanya. Gue pernah makan Nasi Gila di warung tenda di depan pertokoan Pondok Indah sekitar 2 tahun yang lalu, tapi yang satu ini beda, jauh lebih enak.

Gue sangat merekomendasikan tempat ini.

Jam 22.00, T masih aja nantangin kita ngopi, tapi R sudah setengah nyawa jadi akhirnya kita pulang. Nanti kapan2 kalau kita ngopi gue bilang2 deh.

Creative Commons License

Thursday, August 11, 2005

Misteri Jalan Jaksa


Jadi begini ceritanya, setelah seminar kemarin, gue dan C niat hati ingin makan di suatu tempat di sekitar Sarinah Thamrin, tapi berhubung si sopir salah belok *hehehe*, jadi kita nyasar dan entah bagaimana sampailah kita di Jalan Jaksa.

Jalan Jaksa, suatu jalan yang di kanan-kirinya penuh sama baik kafe maupun warung tenda, suatu tempat yang selalu banyak dikunjungi turis-turis asing kere yang mengunjungi Jakarta. Jalan yang sudah sempit bertambah sempitlah karena mobil2 juga banyak yang parkir di ruas jalan.

Malam itu, ada selebritis yang dikejar2 wartawan, gue gak tau siapa seleb itu, sriting sih yang jelas.

Gue bingung apa bagusnya Jalan Jaksa. Sudah gue telusuri dari ujung ke ujung. Tempat2 makan di sana biasa aja, biasa banget malah. Dari segi desain interior dan eksterior biasa aja. Dari segi harganya yang relatif murah, ya di tempat2 lain juga kalau makanan di pinggir jalan juga murah, lalu apa ya? Mungkin lokasi, mungkin di sekitar sana banyak Jugendherberge atau hostel2 tempat para backpacker nginep.

C membebaskan gue untuk pilih tempat, maka gue pilih satu tenda yang keadaan fisiknya sangat mewakilkan Jalan Jaksa, hehe. C pesen soto yang tampilannya sangat indah namun rasanya biasa aja. Gue pilih ikan bakar yang kedengerannya paling eksotis namun rasanya juga biasa aja.

Hal yang luar biasa adalah, di satu meja, kita makan bareng 2 turis Jepang yang ngobrol dlm bhs Jepang dan 2 turis entah dari mana yang ngobrol dlm bhs Prancis. Setelah dengerin kuliah umum dlm bhs Inggris lalu makan di tenda pinggir jalan di mana orang2nya bicara bhs Jepang dan bhs Prancis dan pelayan bicara bhs Inggris sama mereka, maka gue pikir gue ada di mana ya?

Sori ya C, kalau elo gak bisa menikmati makanan malam itu. Tapi yg penting kan ngobrol sama gue *hehehe, tetep deh gue*. Sampai saat ini, Jalan Jaksa masih merupakan misteri besar dalam hidup gue.

Creative Commons License

Wednesday, August 10, 2005

48


Ada yang bilang, orang yang tidak suka makan duren itu tidak bisa dikatakan benar-benar menikmati hidup. Tidak suka duren adalah kerugian besar2an. Hehe. Gue benci duren. Kalau keluarga besar gue pesta duren, gue mabok hanya dengan menghirup udaranya tanpa ikut makan. Kalau orang rumah gue beli duren, rasanya baunya itu nempel di dinding2 rumah, di tirai2, di setiap benda, selama berhari2, masih ada bahkan lama setelah duren itu sendiri habis. Gue benci duren beserta seluruh turunannya. Mau duren itu diselip2in di es krim kek, gak ngaruh. Gue pernah hampir pingsan setelah nyicipin es krim rasa duren. Untungnya belum ada coklat rasa duren. Jadi coklat bagi gue masih aman, belum terkontaminasi.

Kalau bagi gue, hidup loe gak lengkap kalau elo gak suka sea food. Menyesallah habis2an kalau kalian punya alergi sama makanan2 laut, hehehe… Gue suka banget sea food: udang, segala macem ikan, kerang, teri, cumi, semuanya. Digoreng, dibakar, direbus, semuanya. Tadinya gue mau bikin ulasan tentang sea food di Muara Karang tapi berhubung gak jelas kapan gue bakal ke sana, maka gue cerita tentang sea food 48 aja dulu, yang jadi langganan keluarga gue, dan gue beberapa kali juga ke sana sama temen2 gue.

Malam itu teman2 kencan gue adalah keluarga gue, hehe… Berhubung mereka semua selebritis, jadi agak2 susah ngajak mereka keluar. Pertama, jarang di rumah. Kedua, sekalinya di rumah, pada males keluar (lho?) takut dikejar paparazzi kali maksudnya. Mereka awalnya maunya pesen pizza aja, delivery, plis deh. Kalo gitu sih gue aja yg nyiapin, hehe… Ambil pizza beku, masukin oven, jadi deh.

Sea food 48 terletak tepat di seberang RS Fatmawati, masih satu deret sama Kantor Pos Fatmawati. Dulunya mereka berupa warung tenda di depan Apotek Retna, tapi rupanya skrg sudah ditertibkan. Ini warung makan udah ada sejak gue SD kali, saking udah lama banget ada di ingetan gue. Dan bagi gue ini adalah sea food paling enak di Jakarta Selatan (sori, jangkauan gue masih Jakarta Selatan). Dulu waktu gue masih sering nyopirin nyokap gue ke CCF Wijaya, dulu di situ ada juga warung sea food kalau malem, lumayan juga enak, tapi yg gue inget justru es telernya, gak tau deh sekarang masih ada gak ya di sana?

Kalau kalian ke sea food 48, tinggal merem dan tunjuk menu aja, semuanya enak. Kerang dara, kerang ijo bumbu saos Padang, udang atau cumi goreng tepung atau asem manis atau goreng mentega, ikan dibakar atau digoreng, dll, tinggal tunjuk aja, tapi favorit gue itu kerang ijo bumbu saos Padangnya. Manteb.

Harganya gak se-mahal dugaan awal gue, masih sangat berada dalam batas toleransi. Rumah makan itu juga nyaman dari gangguan pengamen karena ada pengamen yang mendominasi tempat itu di mana untuk mereka disediakan panggung khusus di pojok, jadi kayak di kafe2 gitu, gak akan berkeliaran di meja2, jadi jangan lupa meninggalkan uang di panggung setelah kalian selesai makan.

Bon apetit!

Creative Commons License

Tuesday, August 09, 2005

Blenger Burgers


Hampir jam 14.00 ketika gue memencet nomor telpon T untuk mengkonfirmasi kencan kita sore itu. Hampir jam 14.10 ketika gue sampai di suatu tempat di sekitar Melawai, pusat aktivitas T, menjemput dia untuk sama-sama mengunjungi kedai burger di deket2 situ yang pernah dia iklankan sekilas tapi gue inget2 dong. Oya, T itu salah satu direktori berjalan tempat-tempat makan di Jakarta. Dalam sekali perjalanan dia bisa bilang, "di situ ada tempat makan Mel", "mie ayam di sana enak Mel", "elo harus nyobain asinan di situ Mel", dan sejenisnya.

Blenger Burgers ada di sekitar Jalan Mendawai, sori gue emang gak bisa jelasin lebih jelas soalnya disorientasi arah gue makin lama makin parah. Kedainya emang kecil, di pojok jalan, ada 4 atau 5 meja berpayung di depannya, yang saat kita ke sana penuh semua. Mereka baru buka jam 1 siang. Di sebelahnya ada butik2 cewek gitu deh, yang jual baju dan pernak-pernik lucu2 buat cewek2. Di sana mata gue sangat dimanjakan lah sama warna-warni, hehe..

Tidak cuma burger yang mereka jual, tapi juga hot dog, dengan topping (?) maksud gue isi yang beda-beda. Waktu itu kita pesen cheeseburger kalau gak salah inget. Sori, ini udah agak lama, tapi baru sempat gue tulis sekarang. Dan sori, waktu itu gue sibuk jagain meja demi bisa duduk2 dulu di situ karena waktu itu lagi lumayan rame, jadi gue gak bisa bikin laporan detail tentang macam2 rasa burger yang mereka jual. Tapi gak aneh2 kok, tenang aja, gak ada burger rasa nanas gitu maksud gue.

Sesuai dengan namanya, elo makan burger mereka bisa blenger2 deh, saking gedenya, hehe, makannya susah gitu, porsi dua orang dalam satu burger buat ukuran nyokap gue, porsi satu setengah orang buat ukuran cewek-cewek pada umumnya, tapi pas lah buat ukuran gue *biasa makan nasi Libanon gitu loh*.

Bagaimana rasanya Mel? Waduh waduh, pertanyaan yang menguji sensitivitas gue. Begini, rasanya oke, agak kepedesan karena saosnya cabe, hehe, gue suka banget sama acar timunnya, manteb. Secara keseluruhan enak kok, apalagi karena ditraktir *hohoho*, dan karena itu pula gue gak bisa cerita tentang harganya.

Creative Commons License

Friday, August 05, 2005

Panglaykim Memorial Lecture


Pengemudi mobil itu sudah tiga kali berkeliling gedung CSIS ketika akhirnya menyerah, keluar dan mencari tempat parkir di gedung lain sekitar 300 m jauhnya. Jalan Tanah Abang III yang memang sudah sempit dari sananya sore itu jadi sempit kuadrat. Seribu orang menghadiri kuliah umum di mana CSIS menjadi host-nya.

Kuliah umum sore itu mengangkat topik yang sama sekali tidak baru, sama sekali tidak asing, yaitu tentang kemiskinan. Dengan pembicara yang juga lebih-lebih tidak asing, Prof. Jeffrey D. Sachs, Director of the Earth Institute di Columbia University dan Director of the UN Millenium Project, Special Advisor untuk UN Sec-Gen Kofi Annan mengenai MDG. Dialah yang merupakan otak di belakang MDG. Baru-baru ini dinobatkan oleh Time Magazine sebagai satu dari 100 pemimpin paling berpengaruh di dunia.

Pertama kali mendengar deskripsi singkat tentang seminar ini dari temen gue C, gue berharap mendengar Prof. Sachs bicara spesifik mengenai kemiskinan di Indonesia, namun akhirnya gue harus sedikit kecewa karena pembahasan yg dia beri lebih global dan makro. Pendekatan Prof. Sachs, seperti yang dia akui sendiri, adalah pendekatan komprehensif yang dia beri label clinical economics.

"Life doesn't come with one problem neatly separated from the rest. Specialization is helpful, but you've got to see the web."


Prof. Sachs lebih mempresentasikan apa isi buku barunya, yang judulnya diambil untuk kuliah sore itu, The End of Poverty: Economic Possibilities of Our Time. Dia mulai dengan menjelaskan apa yang dia maksud dengan Goal 1 dari MDG, lalu mengenai kemiskinan secara umum: faktor-faktor "merugikan" yang menghambat masyarakat2 tertentu untuk lepas dari kemiskinan, sambil sedikit mengkaitkanya di sana-sini dengan kondisi Indonesia. Terakhir, Sachs memaparkan aksi yang bisa dikerjakan oleh dunia untuk dapat memenuhi target MDG yang deadline-nya thn 2015 yang akan datang.

Goal 1 of MDG: Penghapusan Kemiskinan
Negara-negara anggota UN menandatangani kesepakatan MDG pada thn 2000. Kini, semua usaha "to make this world a better place to live" difokuskan pada ke-8 butir dalam MDG. Gue juga gak hafal apa aja 8 goals itu (hehe), coba baca KOMPAS kemarin, di rubrik International ada satu halaman penuh membahas MDG. Yang jelas ini adalah goals yg dianggap sangat darurat untuk segera dilakukan, termasuk di dalamnya mengenai kemiskinan, pendidikan dasar, kesehatan (HIV/AIDS, kematian bayi dan ibu melahirkan, penyakit2 endemik spt contohnya malaria, dll).

Menurut Sachs, sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak pernah tidak ada kemiskinan. Jika pada masa ini kita berhasil menghapuskan kemiskinan di muka bumi maka ini adalah yang pertama kalinya. Dan sangat tidak rasional untuk berharap bhw thn 2015 tidak ada lagi kemiskinan. Yang dia maksud dengan Goal 1 MDG adalah mengurangi jumlah kemiskinan ekstrem di dunia hingga separuhnya pada akhir 2015.

Kemiskinan ekstrem adalah kondisi di mana manusia terdeprivasi dari kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Menurut definisi World Bank, "extrem poverty is the poverty that kills", di mana seseorang berpendapatan kurang dari 1 USD per hari yang menyebabkan mereka selalu dalam keadaan lapar kronis, tidak mampu memperoleh perawatan kesehatan, kurang akses terhadap air bersih untuk diminum dan sanitasi, tidak dapat menyediakan pendidikan bagi anak mereka, tidak memiliki kebutuhan berpakaian dasar (misalnya alas kaki), dan bahkan tidak memadainya tempat tinggal (misal: rumah tanpa atap sehingga kehujanan).

Hari ini, lebih dari 1 miliar penduduk bumi hidup dalam kemiskinan ekstrem. Seperlima dari populasi dunia. Asia merupakan nomor 1 dalam segi jumlah penduduk miskin ekstrem, namun proporsi terbesar ada di Afrika di mana orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem mencapai perbandingan hampir 1 banding 2. Jika dilihat dari sejarah, beberapa abad yg lalu, semua orang di dunia miskin, dengan sangat sedikit pengecualian, yaitu kalangan kerajaan. Namun sejak Revolusi Industri, ada negara2 yang bisa melipat gandakan, hingga 25 kali lipat kekayaan mereka, sementara negara2 lain seperti mandek.

Faktor-faktor penghambat perkembangan ekonomi
Adalah suatu misconception untuk berpikir bahwa kemiskinan yang dialami negara2 tersebut adalah karena "pada dasarnya orang2 tersebut pemalas atau negara yang sangat korup". Suatu oversimplification. Kemiskinan pada kenyataannya hanya sedikit sekali bisa dijelaskan oleh kedua hal tersebut. "in all corners of the world, the poor face structural challenges that keep them from getting even their first foot on the ladder of development."

Semua faktor penghambat tersebut bermuara dari lokasi geografis. Adam Smith pernah berbicara mengenai division of labour yang baginya sangat tergantung pada scope of the market. Daerah-daerah pantai lebih dahulu dan lebih cepat berkembang daripada daerah2 pedalaman. Thn. 1776 pun sudah ada kecenderungan bahwa daerah2 di Asia Tengah dan pedalaman Afrika adalah daerah2 yang paling susah berkembang. Adapun dimensi2 penting yang berkaitan dengan letak geografi adalah sbb:

Masalah transportasi: Daerah2 tidak berkembang di pedalaman adalah daerah2 di mana teknologi transportasi jika tidak tersedia maka terlalu mahal sehingga mereka tak terjangkau oleh dunia luar. Sambil berkelakar, Sachs berpendapat hanya heroin (selain minyak) yang bisa menutup ongkos transportasi ke daerah2 sulit tersebut. Selain itu letak geografi juga berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat untuk bercocok tanam untuk pangan mereka. Letak geografis mempengaruhi pencahayaan matahari yang diterima, kondisi lahan, perairan, dsbg. Kesadaran ini pula yang mendorong Green Revolution pada thn 1960-an. Faktor lain adalah masalah penyakit yang dipengaruhi faktor ekologis. Misalnya, malaria yang hanya menjangkiti tempat-tempat tropis. Hal ini berhubungan dengan temperatur daerah tersebut dan kemampuan nyamuk berkembang biak.

Dimensi2 tersebutlah yang punya peranan penting terhadap isolasi suatu daerah dan tantangan dunia sejalan dengan memerangi korupsi dan memperbaiki etos kerja masyarakat juga seharusnya ditujukan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan bagaimana mengatasi hambatan2 geografis tersebut.

Selain masalah geografis, bentuk masyarakat juga dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi: closed society, divided society, dan abused society merupakan masyarakat yang paling susah berkembang. Masyarakat yang pernah mengalami abused berupa kolonisasi, pada beberapa kasus, akibat yang ditimbulkan begitu menghancurkannya sehingga perkembangan pun sangat sulit.

Indonesia memiliki variasi yang sangat besar dari segi geografi. Indonesia bagian timur tidak bisa disamakan dengan Pulau Jawa, misalnya, yang mengakibatkan bervariasinya juga jangkauan transportasi dan kepadatan penduduk.

Langkah-langkah mencapai Goal 1
Sachs memaparkan serangkaian aksi yang bisa dilakukan untuk mencapai Goal 1 dan yang paling dia tekankan adalah pentingnya kerjasama internasional. Komitmen dunia dalam memerangi kemiskinan telah pernah diwujudkan dalam kesepakatan MDG namun peristiwa 11 September membelokkan perang terhadap kemiskinan menjadi perang terhadap terorisme. USA mencadangkan 500 miliar USD dalam bidang militer tahun ini, yang tidak akan bisa membeli kedamaian sampai kapan pun jika mereka terus hanya mengeluarkan sepertigapuluhnya untuk mengatasi kemiskinan ekstrem di dunia, yang berarti 15 sen per 100 USD pendapatan USA. Jumlah "kecil" itu pun berkali-kali dijanjikan dan berkali-kali pula gagal ditepati.

Sehubungan dengan organisasi2 internasional: mengembalikan IMF dan World Bank ke peran awal mereka, dan bukannya menjadi debt-collector, alat negara2 kaya sekarang. Lebih memberdayakan UN yang kini selain dipandang "kurang operasional" dan "berbirokrasi sangat rumit" juga memiliki terlalu sedikit otoritas karena negara2 berkuasa memang enggan memberikannya.

Langkah-langkah lain: Harness global sciences, promote sustainable development, and make a personal commitment.





Ini adalah versi belum di-edit laporan gue buat supervisor di tempat magang karena gue kemarin izin ikut seminar. Gue mendahulukan nulis buat blog. Laporan sih ntar aja, hehe... Niat hati ketemu temen lama, dengan selubung seminar, eh malah beneran dengerin seminar akhirnya gara2 harus bikin laporan, hehe... Thx ya C atas undangan seminar kemarin, dan terutama setelah seminar, I really had a great time :-)

Abbreviations:
CSIS: Centre of Strategic and International Studies
UN: United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
MDG: Millenium Developmenta Goals (Tujuan Pembangunan Millenium, terjemahan di KOMPAS)
IMF: International Monetary Fund

Creative Commons License

Tuesday, August 02, 2005

Coffeeholic Returns: Bakoel Koffie Cikini


Tidak seperti tuduhan banyak orang, gue lahir tidak dengan kopi di tangan gue. Kopi adalah kebiasaan yang gue adopsi baru-baru ini. Memang dulu jaman kuliah waktu gue mulai begadang2, gue sudah mulai mengkonsumsi kopi. Tapi dulu karena gak terbiasa, secangkir kopi instan three in one bisa membuat gue melek 12 jam. Gue suka sejak awal rasa kopi di lidah gue, tapi efek sampingnya bener2 menyiksa. Cukup satu cangkir sehari, itupun sebaiknya diminum pagi2 karena kalau kesorean bisa2 gue semaleman gak bisa tidur. Semaleman bete, karena terlalu lelah untuk ngapa2in tapi terlalu tegang untuk bisa tidur, seperti zombie, mayat hidup. Kalau gue minum dua cangkir, rasanya jantung gue mau meledak, mual, pening. Padahal itu kopi instan sachet loh, yang menurut Adella rasanya kayak air gula. Kalaupun gue mempraktekkan bulimia (memuntahkan kembali makanan yg baru dimakan demi tidak gemuk, ini penyimpangan), itu hanya demi menikmati sekilas rasa kopi di lidah gue tanpa ingin menjalani akibatnya.

Perlahan-lahan namun pasti, tubuh gue nagih dosis kafein yang semakin besar sejalan dengan semakin besarnya beban hidup *sahhh gaya*. Selain gue minum kopi secara teratur, frekuensinya pun meningkat (dalam satu hari pernah gue minum 3 cangkir, rekor gue nih), dan sejalan dengan itu efeknya pun menurun drastis. Kalau dulu setakaran kopi bisa bikin gue melek 12 jam, sekarang gak ada hubungannya. Gue bisa menguap segera setelah minum kopi. Gue bisa ketiduran segera setelah menyesap tetes terakhir kopi. Gue tetep minum kopi karena gue sudah kecanduan, pada harumnya yang menggoda, pada rasanya yang memanjakan, pada kandungan kafeinnya yang menjanjikan.

Gue mulai panik. Pada dasarnya, bayangan bahwa gue sangat tergantung dengan sesuatu sangat menyiksa gue. Apalagi sesuatu itu adalah kopi. Yang sangat bahaya bagi kesehatan. Gue mulai panik. Terutama di Jakarta di mana kopi bikinan gue sendiri di rumah rasanya bener2 ancur, tapi mau gimana lagi, demi tubuh gue yang butuh kopi gue kesampingkan rasa kopi yang ancur itu. Minum kopi di pagi hari bukan lagi kesenangan tersendiri. Sekarang sih mendingan setelah gue menemukan creamer yg cocok, namun gue sudah bertekad secara bertahap mengurangi konsumsi kopi. Terutama setelah mendengar kisah T.

Tadi malam teman kencan gue adalah T. Senior, temen organisasi jaman kuliah, sekaligus sahabat. Sejuta kali gue melewatkan malam bersamanya, sejuta kali dia minta kita ketemu di Bakoel Koffie Cikini.

Hampir jam 4 sore kala itu ketika HP gue bergetar, muncul di layar nomor yang tak dikenal +622139235XX. Gue angkat aja, kali aja ada yg manggil audisi (apaan sih Mel?)

"Mel," sambut suara yang sangat familiar di seberang, "sore ini bisa ketemu di Bakoel gak? Elo ada waktu gak? Gue mau [blablabla]", dengan nada mendesak.


Secepat kilat kepala gue berhitung, hmm.. peri biru dan suaminya lagi mudik ke Bangil jd Cinderella bisa sedikit santai, gue punya setumpuk buku yg mesti gue baca tapi bodo amat, tidak ada tugas kuliah atau baju kotor untuk dicuci atau tidak harus masak (kerjaan2 rutin di Fulda), jadi:

"Oke, jam 6 gue di sana ya, ntar gue sms kalau sudah sampe."


Ternyata T nelpon dari kantornya. Dengan kebiasaannya yg main culik dia nodong gue untuk nemenin dia [blablabla]. Ini Jakarta, gue sudah meninggalkan pribadi gue yg Termin (appointment)-minded jauh di Jerman. Ini Jakarta, dan di sini gue adalah cewek panggilan, hehe.

Dari berbagai hal yang kita obrolin malam itu, salah satunya dia menyinggung dirinya yang sekarang pantang minum kopi untuk jangka waktu yang tak terbatas, gara2 lambungnya kollapse gara2 kebiasaannya minum kopi sudah kelewat batas. Dalam sehari dia bisa minum 4 gelas kopi tanpa makan dulu sebelumnya. Dia sempat dilarikan ke UGD dan opname selama 5 hari. Catatan medisnya membuktikan bahwa kopi ternyata bisa mematikan.

Deritanya tak terbayangkan buat gue, pecinta kopi yang tidak boleh lagi minum kopi. Makanya gue berusaha keras mengurangi, cukup satu gelas sehari.

Mengenai Bakoel Koffie Cikini sendiri, berikut adalah laporan gue. Bakoel Koffie adalah warung kopi yang sebenernya buka di beberapa tempat, antara lain yang pernah gue liat ada di Barito, di Kemang, dan di Pondok Indah Mall, selain yang di Cikini. Namun gue gak pernah ke tempat2 lain selain yang di Cikini.

Jika kalian untuk yang pertama kalinya berusaha menemukan Bakoel Koffie Cikini, harap pasang mata baik2. Kafe ini ada di deretan yang sama dengan TIM, sama sekali terpencil di pojokan tanpa plang nama yang layak. Pertama kali gue ke sana, gue bolak balik 2 kali di depannya tanpa nyadar saking tersembunyinya (atau saking gak perhatiannya gue, hehe). Tapi justru inilah yang bagi gue nilai plus: suatu tempat jauh dari kebisingan, cozy dengan sentuhan tradisional, dan ideal untuk pertemuan2 pribadi. Sama sekali gak seperti kafe2 yang ada di mall2 di mana tempatnya sangat terbuka dan nongkrong di sana gue merasa bagai ikan di akuarium yang ditontonin pejalan kaki. Hhhhh…..

Mengenai kopinya sendiri, yang ditawarkan standar warung kopi lah, capuccino, café macchiato, dan semacamnya, dengan tambahan kekhasan mereka yaitu mmm… lupa apa namanya, Java-Java apaaa gitu. Konon konsep Bakoel Koffie memang ingin mempopulerkan kembali kopi tradisional Indonesia di Jakarta. Kopi mereka berasal dari perkebunan kopi di Jawa, Sumatra, dan pulau-pulau penghasil kopi lain di Indonesia.

Mengenai harga gue gak begitu yakin, gue perkirakan harganya sekitar 75% hingga 50% dari harga Starbucks, dengan rasa yang juga 75% hingga 50% rasa kopi Starbucks.

Creative Commons License

Monday, August 01, 2005

adalah musim gugur


Image hosted by Photobucket.com

mengenangmu adalah musim gugur.
di mana daun-daun mengering,
melepaskan cengkeraman mereka pada dahan,
menyerah pada tiupan angin dan menjatuhkan diri,
untuk memenuhi tanah bagai karpet keemasan.

kamu lihatkah cairan yang berhenti
mengaliri nadi daun-daun itu?
kamu dengarkah teriakan-teriakan mereka
mengalahkan riuh angin?
kamu rasakankah resahku yang tercermin,
menghitung jarak perasaan antara kita?

mengenangmu adalah musim gugur.
yang menarik garis lurus dan memisahkan
antara musim panas dan musim dingin
antara bunga dan ranting kering
antara warna warni dan kelabu

mengenangmu adalah musim gugur,
di mana luka menyublim menjadi indah.

Creative Commons License