about a girl

A grandfather was walking through his yard when he heard his granddaughter repeating the alphabet in a tone of voice that sounded like a prayer. He asked her what she was doing. The little girl explained: "I'm praying, but I can't think of exactly the right words, so I'm just saying all the letters, and God will put them together for me, because He knows what I'm thinking." -Charles B. Vaughan

Saturday, December 24, 2005

Novel-novel Paling Mengecewakan yang Ada di Rak Buku Gue


Hmm.. udah lama gak nulis ulasan buku. Tadi gue udah nulis separuh jalan ttg Cala Ibi, tapi tiba2 males :D dan berhubung gue sangat memanjakan mood gue, maka gue banting setir bikin judul baru lagi.

Tolong perhatikan judul gue. Yang mau gue bahas di sini adalah novel-novel yang ada di rak buku gue, jadi ini bukan "worst books of the year" atau "worst books ever published". Jelas bukan, karena setiap gue beli buku tentu gue berharap banyak sama buku itu. Jadi gue juga gak bakal beli buku yg jelas2 tidak menarik minat gue at the first place.

Buku-buku ini kalo gak salah masih ada di kamar gue di Jakarta, jadi bagi siapapun yg berminat baca, gak usah beli, gue kasih aja nanti kalo gue udah balik. Kondisi masih bagus, bahkan baru gue baca beberapa halaman pertama, hehe..



Image hosted by Photobucket.com

Kerudung Merah Kirmizi, Remy Sylado
Ini agak aneh. Remy Sylado, beberapa kali menulis buku dengan berbagai nama samaran, sebenernya adalah salah satu sastrawan (termasuk novelis dan penyair) Indonesia favorit gue. Novel2nya berlatar belakang sejarah Indonesia, dan banyak di antaranya yang jadi bestseller. Salah satunya bahkan adalah buku favorit gue sepanjang masa, Ca Bau Kan (pernah di-filmkan beberapa tahun yang lalu).

Tapi mengapa? oh mengapa? Seseorang yang bisa menulis buku sebagus itu, juga bisa menulis buku sejelek itu? Huhuw... Apakah Anda sedang bad hair day Pak? *Neng Sarah mode on* atau Anda ini sebenernya berkepribadian ganda? Hhhhh....

Kerudung Merah Kirmizi, berlatar Indonesia menjelang kemerdekaan (atau malah sesaat setelah kemerdekaan ya? see, gue sampe gak inget lagi settingnya). Novel ini bicara ttg perjuangan kemerdekaan dan lain-lain yang semuanya itu menjadi samar gara2 kisah cinta yang mengerikan antara dua tokoh utamanya.

Jika gue mau berbaik sangka sedikit, mungkin Remy Sylado berlaku jujur di sana. Begitulah kisah cinta pada saat itu, ditambah lagi dua tokoh utama kita itu sama2 sudah berusia separuh baya, jadi ... yah... dangdut dan gombalnya luar biasa. Bayangin pasangan-pasangan jaman dulu, apalagi seusia itu, bicara pada satu sama lain. Nah. Kalian punya bayangannya. Se-horror itu memang.



Image hosted by Photobucket.com

Lelaki Terindah, Andrei Aksana
Ini adalah pengalaman pertama gue membaca karya Andrei Aksana, dan gue ... trauma. Andrei Aksana punya darah pujangga-pujangga legendaris dalam dirinya (Sanoesi Pane, Armijn Pane, Nina Pane) dan di antara sederet novelnya yang best sellers itu, novel ini adalah masterpiecenya. Coba katakan, bagaimana gue bisa menahan godaan untuk tidak membeli buku ini?

Gue cuma tahan baca beberapa halaman pertama.

Novel ini bercerita ttg kisah kasih antara dua orang pria. Kisah gay Indonesia di mana para pelaku sangat dissonants (gue gak menemukan kata yg cocok untuk: merasa sangat gamang karena ketidakcocokan antara 'apa yg mereka pikir baik' dengan 'apa yang mereka lakukan pada kenyataannya'). Sebenernya, kalau mau difokuskan ke sisi "konflik individu", mungkin bisa mendingan ya. Entahlah.

Satu lagi yang sangat mengganggu gue sejak awal, adalah normatifnya novel ini. Sejak prolog sudah ditekankan "penilaian negatif masyarakat terhadap kaum gay". Ini novel atau iklan layanan masyarakat? Bukan selera gue.

Sejahat-jahatnya gue, mari kita bahas sisi positif dari buku ini. Buku ini adalah salah satu dari sedikit, dan makin lama makin sedikit, buku-buku karya penulis muda Indonesia yang mencoba konsisten menggunakan Bahasa Indonesia. Tentu ada satu dua kata asing yg dicetak miring, tapi menurut gue itu sangat tidak terhindarkan, karena di beberapa bagian ceritanya berlatar belakang Bangkok, dan kalau gak salah ada yg di Amsterdam juga. Berapa banyak sih, penulis muda Indonesia saat ini yang menulis dalam Bahasa Indonesia untuk pembaca berbahasa Indonesia, diterbitkan di Indonesia, tanpa menyelip2kan kalimat2 sehari2 berbahasa Inggris?

Dan harus disebut juga di sini, usaha Andrei Aksana mempelopori gaya baru penulisan buku di mana dia juga bikin soundtrack novelnya, dibikin videoklip, dan dinyanyikan oleh dirinya sendiri. Jadi, satu paket dgn buku tersebut, dia juga sertakan CD berisi vidklip. (PS: Belum gue tonton CD itu, jd gue belum bisa komentar).

Oya, mas Andrei, makasih karena sudah masang gambar itu sebagai cover *wink*



Garis Tepi Lesbian, Herlinatien
(sori gue gak nemu cover buku ini, padahal covernya cukup bagus)
Juga tentang kaum homoseksual, novel ini bercerita ttg sepasang lesbian. Jika di buku Andrei Aksana, stigma2 negatif dari masyarakat sangat jelas, maka di sini sama sekali tidak dibahas, atau mungkin gue tidak cukup sabar untuk terus membaca sampai ketemu. Bahkan gue bingung, novel ini mau membahas apa. Dari A sampai Z isinya adalah puja puji seorang lesbian terhadap kekasihnya.

Gue baca buku ini bertahun2 yg lalu tapi gue masih inget komentar nyokap gue waktu itu, "ceritanya apa sih ini buku?" padahal nyokap gue baca buku itu sampai abis, huhuw..






Uh. Di entry gue kali ini, gue amat sangat menahan diri untuk tidak menggunakan kata2 makian a la Adella. Oya betewe Del. Apakah Vertrag von Nizza harus gue masukin di daftar ini ya? Bwahahahahaaha...

Creative Commons License

Tuesday, December 20, 2005

How Susan is Amel?

Hmm.. pagi2 buta, ngerjain kuis gak penting. Which Desperate Housewife Are You? Btw. kuis ini juga bisa diisi cowok2, untuk tau "kemungkinan kalian akan terjebak oleh desperate housewife model mana" atau "desperate housewife mana yang kalian punya", hehe... *wink wink*

Dan ini hasil gue:


Image hosted by Photobucket.com


Pembahasannya kapan2 aja, kalau tiba2 gue mood.

Creative Commons License

Friday, December 16, 2005

Kebablasan Berekspresi


Sudah sejak lama gue pengen nulis entry tentang ini. Tapi selalu tertunda2 dan ujung2nya ngerasa basi sendiri. Tapi kasus2 seperti ini muncul lagi muncul lagi sampai akhirnya gue bilang "oke, oke, hari ini gue tulis!" kata gue pada rumput yang bergoyang.

Sudah sejak lama. Tepatnya sejak akhir Agustus yang lalu. Ada apa bulan Agustus kemarin? Tentu ada ulang tahun gue (like every year D'oh!), tapi mari kita bahas tentang ini kapan2 aja. Akhir Agustus kemarin ada seminar di Jakarta, Menyoal Jurnalisme Infotainment, yang diadakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Silahkan cari file nya di situs2 berita on line. (Contohnya di sini).

Di seminar tersebut, Sarah Azhari turut berbicara. Dia curhat tentang blablabla dan di antaranya tentang pemberitaan dirinya beberapa waktu yang lalu di salah satu tabloid infotainment. Berita tersebut memasang judul "Balada Kawin Lari Si Ratu Bugil". Menurut Sarah Azhari, dia tidak pernah berpose bugil. Dan dia tidak pernah kawin lari.

Dua minggu kemudian kasus kedua muncul. Selanjutnya gue akan sebut kasus kedua ini sebagai kasus MTV Bujang vs. Global TV. Jadi, singkatnya, host acara MTV Bujang, Vincent dan Desta, dalam beberapa kali siaran mereka mengatakan dan mengisyaratkan hal-hal yang dianggap menghina pihak Global TV. Gue lupa detailnya, tapi puncaknya salah satu dari mereka bilang "TV lain emang nothing" sambil nunjuk logo Global TV. Pihak Global TV gak terima dan melaporkan Vincent dan Desta ke kepolisian.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala gue *dramatisasi mode on*.

Saat itu gue lagi magang di Jakarta. Di unit komunikasi dan informasi dari suatu kantor di mana salah satu fokus kegiatan mereka adalah mengenai kebebasan berekspresi (salah satu turunannya adalah ttg etika jurnalisme). Mumpung gue lagi berada di antara para pakar *sahhhh, kali aja mantan2 bos gue mampir ke sini. gue gak pernah kasih mereka link ke sini sih, lagipula mereka terlalu sibuk utk blogwalking hehe, tapi ini internet gitu loh, siapa sih yg aman di sini? hehe* maka gue ajak ngobrol mbak Y yang mejanya tepat di depan gue,

Mbak, tentang kebebasan berpendapat di Indonesia diatur di mana sih?

Hm? *memandang gue dengan pandangan bertanya2, ini anak kok nanyanya basic banget ya?* Maksud kamu landasan hukumnya?

Ya. Semacam itu.

Kan ada di UUD, Mel.

Ungg ... maksudku, lebih ke aturannya. yang lebih spesifik, misalnya apa yang boleh dan gak boleh dilakukan dalam mengungkapkan pendapat kita.


Oh. Gak ada yang kayak gitu.

Ha? Jadi kita boleh ngomong apapun? Tentang apapun di manapun kapanpun kita mau?


Iya. Intinya setiap orang bebas ngomong apapun pendapat mereka.

Oh. *gak puas*


Tapi...

*tuh kan, huhuw.. pasti ada tapinya*


Tapi, kalau ada orang yang gak terima sama omongan kita, dia juga punya hak untuk nuntut, untuk minta pertanggungjawaban. Kalau itu, ada aturannya di KUHP. Ada pasal2 tertentu yang biasa digunakan, tentang pencemaran nama baik. Jadi intinya, bukan kebebasan berpendapat itu sendiri yang dibatasi. Justru kebebasan itu harus didukung.

[blablabla]


Oke. Sebelum gue bahas, masih ada satu kasus terakhir yang mau gue share di sini yang baru saja terjadi 2 atau 3 hari yg lalu. Ada salah satu blogger yang diperiksa seharian di kantor polisi Jogjakarta, karena salah satu entry di blognya, yang di-niatkan sebagai lelucon, namun ada yang tidak sependapat. (Klik ini untuk baca kronologis dan informasi beserta link-link selengkapnya mengenai kasus tsb.) Jadi ceritanya, blogger ini ingin bilang bahwa skandal foto Mayangsari dan Bambang waktu itu adalah hoax. Dia membuktikan, dengan me-retouch foto tersebut dan mengganti muka2nya pake foto2nya Presiden SBY, Roy Suryo, Surya Paloh, Yusril Ihza Mahendra, Armand Maulana, dan Rhoma Irama.



************




Sejak reformasi dikumandangkan, orang2 di Indonesia yang biasanya sangat terkekang kini menikmati kebebasan semerta-merta. Jangankan tabloid2 infotainment yang dari dulu memang jualannya adalah skandal, koran2 atau majalah2 "serius" pun pada akhirnya dicap telah kebablasan.

Gue sama sekali bukan fans-nya Sarah Azhari di sini *sumpah bukan* tapi menulis berita yang jelas-jelas bohong *at least tidak bisa dibuktikan atau tidak dikonfirmasi* apa namanya kalau bukan fitnah.

Sementara kasus MTV Bujang, gue bilang di sini kasus MTV Bujang dan bukannya kasus Vincent dan Desta karena siaran2 mereka itu bukan siaran langsung melainkan rekaman. Nah, ke mana para produser dan editor dll.nya? Vincent dan Desta adalah manusia juga, yang khilaf *tapi kok berkali2 ya khilafnya*, tapi lalu kenapa gak di-edit? Gue bukan wartawan atau reporter atau semacamnya dan gak pernah belajar jurnalisme, tapi plis ya, itu kan basic banget.

Sekarang coba lihat masalah ini dengan menggunakan common sense gue. Sekarang bayangin gue nulis di blog semau gue tentang seseorang dengan gaya becanda. Jika orang tersebut sakit hati dengan tulisan gue, apakah wise kalau gue bilang bahwa gue hanya menggunakan hak mengungkapkan pendapat gue? Atau gue bisa bilang, "Hey, ini kan becanda, jangan sensitif gitu dong!"

Oke, apalah artinya blog. Gue sepakat. Dan itu membawa kita ke kasus blogger. Kasus blogger itu bagi gue gak se-penting itu sehingga sampe harus dibawa2 ke kantor polisi segala, dalam artian orang yang menyeret2 ini sungguh teramat sangat tidak ada kerjaan. Entah apa motivasi dia mempersoalkan ini, mungkin sekedar cari sensasi, tapi kenyataannya persoalan ini ada, dan bagaimana gue melihatnya?

Bagi gue tetep bukan argumentasi yang tepat jika bilang bahwa kasus itu mengekang kebebasan berekspresi. Gak ada hubungannya.

Siapapun yang belajar filsafat kebebasan (terutama oleh Jean-Paul Sartre) akan mendukung gue, bahwa dalam kata "bebas" ada isyarat "tanggung jawab" di dalamnya. Itu adalah satu paket. (Jadi istilah "bebas bertanggung jawab" adalah salah kaprah, seakan2 bilang bahwa "bebas" saja tidak termasuk "tanggung jawab" sehingga harus disebut jelas2 kata2 "tanggung jawab"nya).

Apa yang dilakukannya itu mungkin lucu, atau kreatif, atau apalah. tapi blog itu konsumsi publik. Kalau memang mau melakukan lucu2an internal yg agak2 sensitif, sebaiknya lakukanlah di milis2 tertutup atau kirim2 aja ke imel2 temen2 loe. Kalo mau aman. Kemudian gue inget satu kalimat di buku2 jaman gue sekolah dulu, entah buku PSPB atau PMP atau PPKn.

Sesuatu dinamakan hak seseorang, selama itu tidak melanggar hak orang lain.
-entah buku PSPB atau PMP atau PPKn-


Kok jadi ribet ya? Hm. Mood gue lagi buruk hari ini. Kita para blogger, kita gak punya editor (kecuali yg punya ya, hehe) jadi setiap kata kita sendiri yg mempertanggungjawabkannya, kalau bukan di dunia maka di akhirat. Memang asik dari segi gak ada org yg ngatur apa yg harus kita tulis, tapi di sisi lain, yah.. jangan sampai lepas kontrol lah.

Pada akhirnya, gue harus bilang, jangan sampai tulisan gue ini mempengaruhi kalian sehingga ragu2 untuk nulis, hehe.. Kalau itu terjadi, gue cepet2 cari pengacara kali ya, lol. Dan, sekalian sebagai peringatan satu tahun blog gue, gue cuma mau nambahin, kalau ada kata2 gue selama ini (dan untuk masa yang akan datang) yang menyinggung seseorang atau pihak2 tertentu, tolong bilang ke gue dan nanti kita bicarakan ;-)

Oh, oh, gue jadi kepikiran blognya Neng Sarah dan Mpok Jane. Blog favorit gue yang sangat menghina orang2, hehe..

Creative Commons License

Tuesday, December 13, 2005

sebelum dan sesudah

sebelum kamu datang,
bunga bermekaran
langit cerah
burung berkicau
matahari bersinar

sesudah kamu datang,
bunga bermekaran. dan aku tersenyum
langit cerah. dan aku tersenyum
burung berkicau. dan aku tersenyum
matahari bersinar. dan aku tersenyum

Image hosted by Photobucket.com



bahan ujian gue banyak banget! dan aku tersenyum... gila kali.
pertama kali di-posting 21 Mei 2005

Creative Commons License

Monday, December 12, 2005

masih, masih, masih

Image hosted by Photobucket.com

masih dapat kaulihat, merah tinta.
mengukir namaku pada pantulanmu di cermin
setiap pagi kamu bangun dengan mata nyalang
seakan tak pernah terlelap

masih dapat kaudengar, bisik lirih.
melafal namaku pada ribuan malam terjagamu
setiap mimpi yang tak kunjung berhasil kautepis
bahkan memburuk makin hari

masih dapat kaurasa, getir luka.
mengilap namaku pada serakan cabikmu yang tersisa
setiap kali kamu meraih berharap aku ada di sampingmu
namun kosong lalai kaumengerti


masih juga, kamu mencanduku.
mataku yang hening
pikiranku yang manis
bibirku yang dusta

hatiku.
yang bukan hanya untukmu.

Creative Commons License

Sunday, December 11, 2005

Intel is My Religion


Kasus Pertama
Dia bekerja di suatu gedung pencakar langit di Sudirman. Dia adalah tipe pekerja keras, terlihat sejak masa bangku sekolah, kemudian di tahun-tahun kuliah, dan di beberapa tempat kerja sebelumnya. Keuletannya sudah terbukti. Kolega2nya di bidang yang sama, selalu melihat iri kepadanya, karena ia bekerja di "istana" (istilah mereka). Itu adalah tempat kerja yang diincar oleh banyak orang di sekitarnya, dan dia ada di sana. Di bidangnya, itu adalah "puncak pencapaian", dan dia sudah ada di sana.

Mari kita kupas layer berikutnya. Dia benci kerja di sana.

Setiap pagi, dia sampai di kantor pukul 7.30. Dia akan ngopi dulu ("ini untuk dopping"), lalu shalat Dhuha ("gue berdo'a agar diberi hari yang lancar"), lalu masih ada waktu sebentar sebelum mulai kerja, dia gunakan untuk baca2 koran hari itu. Kemudian rutinitas dimulai. Tumpukan file yang menggunung. Telepon2 yang berdering. Laporan2. Analisa2. Blablabla. Jam-jam akan terbang demikian cepat, tiba2 sudah jam makan siang. Jam-jam akan terbang sangat cepat, tiba2 sudah hampir jam 17.00. Dia langsung siap-siap, lalu pulang tepat pukul 17.00 ("gue gak rela lebih lama lagi semenitpun di sana").


Kasus Kedua
Di belahan bumi yang lain, ada suatu kompleks modern dari suatu dinasti kapitalis lain. Di tempat kerja ini, orang akan lihat, hierarki hampir-hampir tidak kelihatan. Pekerja boleh masuk kerja jam berapapun dan pulang jam berapapun (jam kerja fleksibel), pekerja boleh datang dengan pakai jeans, atau celana pendek, atau apapun yang mereka pakai tidur tadi malam. Ruang2 para manager tidak pernah tertutup pintunya, dan entah di tingkat manapun seseorang dalam organisasi, entah dia baru masuk ke perusahaan tersebut kemarin sore, dia tetap boleh masuk sewaktu2 dan bicara dengan manager untuk menyatakan idenya. Mereka boleh kerja dengan laptop mereka sambil berjemur di Pantai Kuta Bali, kalau mau.

Mari kita dekati salah satu dari pekerja itu.

Dia bilang, "Ya, memang kita bekerja sangat keras membanting tulang di sini. Kadang sampai 24 jam berturut2, hahaha. Tapi gue betah di sini, gue suka suasananya. Gue bahagia di sini."


**********


Bukan Kasus Pertama yang ingin gue bahas di sini. Karena cerita2 semacam ini sudah terlalu basi, bukan berarti blog gue ini isinya aktual2 banget juga sih. Tapi siapa sih yang gak familiar dengan cerita pertama? Cerita itu adalah kisah nyata sahabat gue sendiri, dan kisah nyata berjuta2 orang lain di Jakarta gue rasa. Sebenernya kisahnya lebih horor lagi daripada itu. Gue kadang makan siang sama dia, gue kadang pulang atau pergi bareng sama dia karena kantor kita berdekatan dan rumah kita juga berdekatan.

Bagi orang2 di Kasus Pertama, mereka akan sekuat tenaga menjadikan kerja bener2 merupakan sepertiga kehidupan mereka. Sepertiga lainnya buat diri sendiri dan sepertiga lainnya buat keluarga dan atau pasangan dan atau teman2. Atau, kemungkinan lain yg biasa kita temui, ada bagian hidup mereka yg dihabiskan dengan melewatkan malam gak karu2an, dugem secara teratur sebagai pelarian (sori bagi yang tersinggung, bikinlah blog kalian sendiri. Blame it to Neng Sarah dan Mpok Jane, gue makin judes setelah baca blog mereka).

Yang mau gue bahas adalah Kasus Kedua.

Minggu lalu gue ikut seminar 2 hari ttg Change Management. Kuliah yang paling menarik sepanjang semester yang membosankan ini, kalo gue boleh bilang. Di akhir seminar di hari terakhir di 15 menit terakhir, pembicara kita Fr. Daphna Uriel, cerita ttg satu hasil penelitian yang sangat menarik ttg Organizational Culture. Penelitian ini dilakukan oleh Gideon Kunda, pengajar Sosiologi dan Labor Studies di Universitas Tel Aviv. Hasil penelitiannya dibukukan, judulnya Engineering Culture. (klik gambar di bawah ini untuk baca excerpt bab 1 dari buku ini).

Image hosted by Photobucket.com

Penelitian ini dilakukan di suatu perusahaan yang tidak disebutkan namanya, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan yang dimaksud adalah Intel, lebih tepatnya lagi, di bagian IT-nya. Atmosfir kerja di sana ditandai dengan informalitas, penekanan terhadap inisiatif, aktif, mengambil resiko, kurangnya struktur, tanpa jam kerja yang spesifik, bottom-up decision-making, open space workplace. Setiap pekerja diperlakukan sebagai anggota keluarga. Budaya organisasi yang kuat menyebabkan setiap pekerja mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi. Para pekerja sangat bangga dengan perusahaan (dan dengan dirinya sendiri karena bekerja di sana). Kesan yang dengan jelas tertangkap, org2 di sana adalah org2 yang pekerja keras, sangat involving, dan anehnya menikmati pekerjaan, bahkan kecanduan kerja. Dan ini semua tidak diserap dengan begitu saja oleh para pekerja melalui observasi, namun merupakan bagian dari proses pembelajaran yg dilakukan oleh pihak manajemen.

Fr. Uriel bilang, inilah perbudakan model baru. Jika perusahaan2 konvensional tertarik dengan setiap tetes keringat dan tenaga dan pikiran, yang bisa diberikan para pekerja buat perusahaan, maka kecenderungan mutakhir perusahaan adalah lebih dari itu. (not only your sweat but also your soul).

"Power plays don't work. You can't make 'em do anything. They have to want to. So you have to work through the culture. The idea is to educate people without them knowing it. Have the religion and not knowing how they ever got it!"
-Dave Carpenter, Senior Manager di perusahaan tersebut, telah menebus posisinya dengan berbagai hal termasuk perceraian.

"It's a fascinating company. I could watch it forever. Today I'm doing culture with the new hires. I tell them about how to succeed here. You can't do just the old nine-to-five thing. You have to have the right mindset. It's a gut thing. You have to have the religion. [...] And I tell them the first rule: 'Do What's Right'. It's the company's slogan, almost a cliche, but it captures the whole idea. 'Do What's Right'. If they internalize that, I've done my job. My job? They come in in love with the technology; that's dangerous. My job is to marry them with the company."
-Ellen Cohen, juga di manajemen. Dulu engineer juga trus burn-out trus dibiayai perusahaan melakukan penelitian dan training ttg company culture.


Mereka bukan lagi bicara ttg sign and symbol dalam budaya yang diterapkan di perusahaan, namun lebih jauh lagi, menurut sertakan konsep2 berikut: family, marriage, religion ke dalam perusahaan.

Buku ini juga membahas tentang Culture and Control, pergeseran penerapan kontrol dalam budaya perusahaan yg dulunya menggunakan utilitarian control (menggunakan tekanan ekonomi untuk membuat pekerja comply dengan aturan2 perusahaan), menjadi usaha untuk menerapkan normative control (usaha untuk mengontrol pekerja dengan cara mengontrol pengalaman, pikiran, perasaan pekerja yang pada gilirannya akan menuntun perilaku mereka). Dalam normative control, pekerja tidak lagi bertindak berdasarkan evaluasi, reward, atau punishment, melainkan berdasarkan pengidentifikasian diri dengan tujuan perusahaan, kepuasan intrinsik, dan komitmen internal. Walaupun ide mengenai hal tersebut sudah sejak hampir setengah abad yang lalu digaungkan, namun penerapannya adalah hal lain lagi.

Sekarang. Jika dalam perusahaan umumnya, kita dateng jam 8 dan pulang jam 5 dan di luar itu kita bisa bilang peduli setan dengan perusahaan, maka di perusahaan ini, kita "membawa" pekerjaan kita 24 jam sehari. Menganalogikan bahwa kita tidak menanggalkan agama kita sedetik pun, perusahaan ini adalah contoh yang mengincar agar pekerjanya membawa pekerjaannya ke manapun, dalam makannya, dalam mandinya, dalam tidurnya.

Creative Commons License

Tuesday, December 06, 2005

Wikipedia? Wikidilema!


Image hosted by Photobucket.com


Wikipedia, nama yang sangat akrab di telinga (mata?) kita. Menurut yang tercantum di situs resmi mereka sendiri, Wikipedia adalah:

... a new kind of Encyclopedia that is comprehensive and free for anyone to consult. It is a website which any visitor can edit, with the changes showing up immediately. You could even edit this page by clicking the "edit" link on the third tab above!


Pernah pake Wikipedia Mel?
"Hm.. becanda nih yg nanya", batin gue. "Gue gak bisa hidup tanpa Wikipedia!" teriak gue *hidung memanjang*
Coba... ayo dicoba teman2... masukkan kata kunci ke sana, tanya mereka apa aja. I mean, apa aja. Mereka akan ngasih berlembar2 informasi, lengkap dengan link ke mana2 kalau2 kita butuh informasi lebih mendalam lagi.

Dengan bahasa bumi yg relatif sederhana dan sangat mudah dimengerti, inilah tempat pertama yg gue kunjungi setiap kali gue butuh informasi yg cepat. (Konon, kata Wiki pun artinya cepat). Tapi sayang sodara2... entry gue kali ini bukanlah untuk mempromosikan Wikipedia. Justru sebaliknya, mari kita tujukan perhatian kita ttg keilmiahannya, berhubung pembaca blog ini kebanyakan mahasiswa, yang masih harus banyak bikin tulisan2 ilmiah. Entry kali ini adalah notulensi diskusi di kelas Hukum Eropa III yg gue hadiri hari ini.

Pertama-tama, mari kita lihat, kata ensiklopedi. Kita bayangkan dulu ensiklopedi konvensional yang kita lihat sehari2 di rak buku, sebagai perbandingan. Usaha untuk menyusun ensiklopedi dengan bentuk dan konsep yang kita kenal di zaman modern ini, dimulai pada masa Aufklärung, sesaat setelah Revolusi Prancis. Suatu masa yang sangat singkat namun gue sebut lagi, gue sebut lagi, apa daya, di sinilah memang banyak hal terjadi.

Ensiklopedi, pada awalnya adalah usaha orang2 Prancis, suatu proyek, dengan landasan pikiran untuk menyatukan semua pengetahuan yang dimiliki manusia ke dalam satu buku saja. Bukannya membaca seribu buku tentang seribu subjek, tokoh2 kita saat itu ingin punya rangkuman semuanya dalam satu buku. Menyatukan semua pengetahuan yang dimiliki manusia ke dalam satu buku dan dapat diakses oleh masyarakat luas, itulah tujuan ensiklopedi.

Dengan adanya dua tujuan tersebut, konsekuensinya adalah, pengetahuan yang terangkum adalah suatu pengetahuan dasar, untuk masyarakat berpendidikan, yang ingin mendapatkan gambaran yang sangat umum, suatu overview, atas sesuatu yang asing bagi mereka. Jadi, bukan tempat untuk mencari informasi yang sangat sangat mendalam, juga tidak akan terlalu berguna bagi para ahli di bidangnya. Contoh ensiklopedi konvensional? Jerman punya Brockhaus. Di UK ada Britannica. Dan lain2. (Di Indonesia ada... uhmm. "Tolong...", pinta gue).

Masalah kemudian muncul, kata Prof Schrader dosen kuliah hukum kita, ketika mahasiswa mulai mencuplik, menyitir, merujuk Wikipedia untuk dimasukkan ke dalam tulisan2 ilmiah mereka (to quote, zitieren). Di mana masalahnya?

Bagaimanapun, ini adalah internet. Satu halaman yang kita baca di internet hari ini, bisa jadi besok sudah gak ada lagi di sana. Tidak ada jaminan bahwa teks tertentu yang kita maksud akan ada di sana selama-lamanya. Tidak seperti buku.

Masalah kemudian makin rumit jika kita lihat cara kerja Wikipedia. Siapapun bisa dan boleh justru dianjurkan untuk turut berkontribusi. Jika dalam teks2 tercetak ada editor yang akan meletakkan lehernya di bawah guillotine sebagai jaminan bahwa cetakannya dapat dipertanggungjawabkan, maka di Wikipedia?

Mekanisme kontrol Wikipedia adalah saling mengedit, saling mengontrol, sesama pengguna. Semua dilakukan secara sukarela, tidak ada kontributor atau editor yang dibayar. Dan semua koreksi dilakukan setelah teks diluncurkan.

Sekarang bayangkan satu contoh kasus. Ada seorang coffee addict bernama Amel yg freak, kerjaannya setiap hari memantau ketepatan semua isi Wikipedia yg ada hubungannya dengan kopi. Lalu suatu saat, selama 4 bulan Amel sibuk magang jadi gak sempat browsing Wikipedia. Dan selama 4 bulan itu ada orang2 tidak bertanggung jawab yang sengaja menyesatkan pembaca (yes, yes, jangan kaget, selalu ada orang2 yg terganggu kepalanya berkeliaran terutama di dunia cyber), dengan mengetik berita2 ngaco ttg kopi. Lalu bagaimana? Amel sedang di luar jangkauan atas permintaan pelanggan, jadilah selama 4 bulan, entah berapa milyar pencari informasi ttg kopi menjadi sesat. Hhhhhh.... *gue menghela nafas prihatin*.

Saling mengontrol sesama pengguna Wikipedia jelas juga merupakan salah satu bentuk kontrol, namun tetap tidak ada jaminan. Tidak ada jaminan bahwa yang kita baca detik ini di halaman Wikipedia itu sudah lulus kontrol pembaca2 lain, dan tidak ada jaminan lebih2 lagi dari segi kualitas. Belum lagi jika bicara obyektivitas. Sejak zaman ensiklopedi pada masa Aufklärung pun, obyektivitas sudah menjadi pertanyaan.

Satu lagi yang seringkali membuat Wikipedia diserang adalah isinya yang tidak proporsional. Berita2 yang sedang ramai dibicarakan di media massa akan cenderung jauh lebih banyak ditulis, diedit, diperbarui, didiskusikan, dibanding dengan berita2 yang (mungkin) jauh lebih penting namun tidak populer.

Kembali ke pertanyaan awal yang berkaitan dengan kita para mahasiswa, jadi boleh atau tidak boleh merujuk ke Wikipedia, misalnya untuk nulis tesis? Berikut adalah beberapa hal yang disarankan oleh Prof Schrader:

Wikipedia boleh dicuplik. Ada yang namanya lisensi GNU. Tolong diperiksa lagi karena kita di kelas tadi gak ada yang tau dgn pasti, tapi kalau gak salah, GNU-Lizenz itu tidak 100% free direproduksi, setidaknya penyusun harus disebutkan. Ada tuntutan2 tertentu yg harus dipenuhi (wenn Anforderungen GNU-Lizenz eingehalten, Wikipedia erlaubt es).

Dari segi ilmiah, sehubungan dengan perubahan di internet yang cepat, penulisan daftar pustaka adalah menuliskan alamat internet, dan lain2nya, lalu di belakang kita tulis tanggal ketika kita lihat halaman tersebut. Kalau dari Wikipedia, kita tulis versinya. Itu teks versi tanggal berapa jam berapa, misal (Versionsgeschichte).

Salah satu ciri dari teks ilmiah adalah dapat direproduksi kembali, artinya, jika suatu saat ada orang lain yang ingin mengulangi penelitian kita, dia harus bisa melacak kembali setiap tahap penelitian kita, termasuk bahan2 bacaan yang kita pakai. Sementara yang terjadi di internet adalah, seperti yang sudah gue sebut di atas, tidak ada jaminan bahwa teks itu akan terus ada di sana. Tanggung jawab siapakah untuk membuat teks itu ada terus? Dalam hal mahasiswa yang ngerjain tugas, tentu tugas si mahasiswa itu. Dia harus punya back up teks on line tersebut entah dalam bentuk hard copy (dicetak) atau jika terlalu banyak ya soft copy nya aja, misalnya dibakar di DVD/CD.

Demikian, teman2, dongeng gue malam ini. Selamat kembali mengerjakan tugas dan melakukan riset internet :D






Oh. Ngomong2, sementara kita lagi ngomongin hal ini, dan secara blog gue ini juga teks on line, kalian boleh mencupliknya, ehem, dan jangan lupa baca lisensi gue, kgkgkgkgk....

Creative Commons License