Pagi ini di tengah kemacetan, sarapan pagi gue setiap hari, ada pemandangan yang bikin gue shock berat. Beberapa anak berdandan a la orang gila. Tidak, bukan karena tiba2 ada wabah gila di Jakarta, itu sih gue gak aneh, udah dari dulu org2 Jakarta gila. Itu adalah pemandangan anak2 mahasiswa baru angkatan 2005 yang sedang berangkat orientasi kampus alias plonco, lengkap dengan segala aksesoris dan bawaan wajib mereka: pita warna warni diikat di sana sini, tali rafia dibuat rok diikat melingkari pinggang, kantong sampah besar sekali dengan entah apa isinya, dan semacamnya.
Apa??? Hare geneee??? Masih ada plonco2an???
Gue angkatan 98, kata orang angkatan reformasi. Namun entah apa yg lagi di-reform sama para penggagas reformasi kala itu, yg jelas ritual penerimaan mahasiswa baru di kampus-kampus masih saja menyertakan acara plonco di jadwal wajib mereka, walaupun sudah gak ada penataran P4 lagi (aneh kan).
Gue angkatan 98, kalau gak salah angkatan terakhir di Fakultas Psikologi UI yg mengalami plonco. Bagun jam 3 tidur jam 12 malem, ngerjain tugas2 gak penting, makan gak karu2an, lari gak karu2an, ngejar tanda tangan senior, mengalami segala macam pelecehan mental, dll. Kalau gue gak ikut maka gue akan selalu dieksklusifkan oleh seluruh civitas akademika *sahhh*, misalnya otomatis bukan anggota Senat dan pada gilirannya gak boleh jd pengurus Senat (see? institutionalized!)
Gue angkatan 98, untungnya masuk Fakultas Psikologi UI, yg relatif lebih lunak plonco2annya, gak seperti di beberapa tempat di mana plonco adalah bertaruh nyawa. Tapi tetap, orientasi kampus itu pernah membuat gue trauma. Hanya sekali gue di-plonco, yaitu pas masuk kuliah itu doang.
Sekarang coba liat kenapa plonco bertentangan dengan kata hati gue dan gue tidak pernah mau melibatkan diri dengan plonco2an.
Pertama, tentu alasan praktis,
buat apa ada plonco? Di samping semua niat mulia kita sebagai senior untuk menyambut dan memfasilitasi adik2 baru, silahkan akui minimal pada diri sendiri, tidakkah bagi kita ini adalah perayaan tahunan yg lebih ke bersenang2 dibandingkan kewajiban moral? Atau kegiatan rutin Senat yg harus dijalankan untuk dapat membuat laporan pertanggungjawaban pada akhir kepengurusan?
Kalaupun para konseptor acara plonco lebih bertanggung jawab dibandingkan dengan pelaksana, kalaupun mereka bener2 memikirkan kemaslahatan anak2 baru, maka pertanyaan kedua:
apakah orientasi kampus semacam itu adalah cara yg paling tepat? Peralihan status dari siswa menjadi mahasiswa adalah salah satu bentuk pengakuan bahwa anak2 sekolah itu sudah bisa dianggap orang2 dewasa, bukan lagi anak2 kecil. Dan salah satu prinsip andragogi (pendidikan orang dewasa) yang membedakannya dengan paedagogi adalah bahwa orang dewasa belajar apa yg mereka pikir mereka butuhkan. Orientasi kampus bagi gue prinsipnya justru sebaliknya. Kita memberi mahasiswa baru apa yg kita pikir mereka butuh. Tambahan lagi, kita jadinya tidak membiasakan mereka untuk mencari sendiri apa yg mereka butuhkan. Percaya sama gue, akan sangat jauh lebih baik bila kita hanya menunjukkan sikap siap membantu.
Ketiga,
masalah biaya. Pernah terlintas berapa juta rupiah dihabiskan untuk acara rutin ini? Bagi kampus swasta mungkin terserah aja ya, itu duit kalian. Tapi bagi kampus negeri, yang disubsidi rakyat, harus ada alasan yg bener2 jelas utk mengadakannya.
Keempat dan terakhir, adalah
mengenai efektivitas. Adakah bukti2 evaluasi acara yg bilang bhw acara semacam itu benar2 memenuhi tujuan pengadaan dan layak dipertahankan setiap tahun? Sayangnya, acara ini sudah membudaya, sebelas-duabelas sama acara P4 yg gak jelas juntrungannya namun selalu ada. Tak perlu dipertanyakan, tak perlu dipikirkan. Kalau kalian bersuara, maka kalian dipinggirkan.
Tapi itu dulu… Pada suatu masa yang pastinya tidak terbayangkan oleh anak2 keluarga Broto (hehe). Sekarang, ada berbagai variasi. Entah tetap ada plonco namun informal (diketahui pihak kampus tapi mereka tutup mata), atau seperti yg terjadi setidaknya di Psikologi UI (gue gak tau bgmn di fakultas2 lain) yaitu outbond/team building. Kegiatan 3 hari di udara luar yg berisi games yang melatih kepemimpinan, komunikasi, tenggang rasa, dll. Juga mahal, namun secara subyektif gue liat juga lebih berguna, dan lebih dinikmati oleh peserta. Juga mahal, beberapa minggu yg lalu kantor gue outbond sehari di Jatiluhur, yang secara kualitas menurut subyektivitas gue, tidak sampai sepersepuluh bagusnya dibanding sama yg dikerjain oleh Senat F. Psikologi di hutan dan danau UI buat mahasiswa baru angkatan 2000. Namun harganya dong… mencapai 500.000 per orang!
Sekarang, buat teman2 anak2 keluarga Broto yang baru mau mulai kuliah (yaitu
dia,
dia,
dia,
dia,
dia,
dia,
dia,
dia,
dia, sori
Nad, gue gak tau kamu itu angkatan 2004 atau 2005?) selamat datang di kampus, nikmatilah orientasi kampus buat mahasiswa baru di Jerman, yg acara utamanya party atau nonton bersama, atau waktu gue di Humboldt dulu, kita keliling Berlin naik perahu.
Mungkin para senior terlihat cuek, tapi lihatlah sisi positifnya, kita jadi belajar how to detach ourselves from others and how to treat others more respectfully.