Ini adalah bagian terakhir dari trilogi gue ttg bahasa (hehe). Baca bagian pertama di sini, dan bagian kedua di sini.
Contoh kasus:
Baru-baru ini, dua orang temen gue A dan B berselisih. Musabab perselisihan mereka adalah kata-kata berikut: nanar, limbung, tohok, sangkil, dan mangkus. Berhubung gue lagi kebetulan available, mereka tanya ke gue. Dan berhubung gue pikir mereka serius pengen tau maka gue jelasin panjang lebar kata-kata itu. Ternyata permasalahan utamanya adalah, B bilang kata2 itu adalah bahasa daerah sementara A bilang itu adalah Bahasa Indonesia. (Seandainya gue tau kalau mereka lagi berselisih, tentunya suara gue jadi mahal harganya ya? Hehe..)
Dari sinilah bahasan hari ini gue mulai.
Bahasa Indonesia adalah bahasa kompromi sejak awalnya. Seperti yang juga dibilang Tia di komentar posting gue yang lalu. Dulu, sesaat sebelum kemerdekaan, kita butuh satu bahasa pemersatu. Kita butuh satu bahasa yg pret à porter, yang bisa dengan secepat2nya langsung dipakai. Saat itu, bahasa bagi Indonesia lebih ke fungsi, walaupun juga berarti identitas. Gak peduli kata-kata dari bahasa mana (Melayu, Sansekerta, Jawa, Arab, Belanda, Portugis, dll), selama orang2 mengerti maka jadilah.
Tidak heran kalau kemudian temen gue B anggap kata2 di atas adalah bahasa daerah. Sekarang, semua kata itu adalah Bahasa Indonesia, tapi gue gak tau asalnya, bisa jadi dari bahasa daerah. Dan bukan berarti Bahasa Indonesianya B buruk ya, plis deh, dia itu ketua OSIS gitu loh di SMAnya dan gue selalu berpendapat, pelajar2 yg pernah jadi ketua organisasi ini itu pastinya punya kemampuan verbal di atas rata2. (kalimat ini penting, supaya B tidak berkecil hati).
Kata2 semacam nanar, limbung, dan tohok sepertinya cukup sering muncul. Tapi sangkil dan mangkus? Hanya orang2 gak waras aja yang pakai kata2 itu. Gue belajar kata2 itu bila dan hanya bila gue mau UMPTN karena kata2 itu hampir setiap tahun muncul di soal2 Bahasa Indonesia. Tapi sebelum dan sesudahnya, boro2 ya kata2 itu gue pake, gue baca pun gak pernah. Kalau A dan B gak ungkit2 kata2 itu lagi kemarin, pastinya gue udah lupa. Kata-kata itu adalah dalam Bahasa Indonesia dan bener2 ada, bukannya gue mengada-ada. Namun, sekali lagi, hanya orang2 gak waras yang pake, contohnya orang2 yg nyusun soal2 UMPTN (pilih A jika 1 dan 3 benar, pilih B jika 2 dan 4 benar, pilih C jika 1,2, dan 3 benar, pilih D jika hanya 4 benar, dan pilih E jika semua benar).
Dari sinilah permasalahan Bahasa Indonesia gue rumuskan:
1. Terbiasa dan terlalu mudah menyerap kata2 dari bahasa2 lain.
2. Kalaupun ada kata2 asli Bahasa Indonesia, gak ada yang pakai, kata2 itu ada cuma supaya kamus kita tebal.
Metode dan Struktur Pembahasan
Permasalahan di atas akan gue bahas terutama dengan menggunakan metode sok tau gue (except if otherwise mentioned). Tapi sebelumnya, gue akan bahas pertama2 posisi Bahasa Indonesia di dunia. Lalu kemungkinan Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional (menjawab komennya Adella di posting gue yang lalu). Terakhir, pro kontra kata2 serapan dlm bhs Indonesia (sambil menjawab permasalahan).
Posisi Bahasa Indonesia di dunia
Berdasarkan perkiraan seorang peneliti yg dianggap suhu di bidang ini, yaitu Haarmann (2001b), terdapat 6417 bahasa di dunia, di antaranya hanya 273 bahasa yg dipakai oleh masing2 lebih dari satu juta org dan merupakan 85% dari populasi dunia.
Selanjutnya, di antara bahasa-bahasa itu hanya 12 bahasa yg masing2 digunakan oleh lebih dari 100 juta org sebagai bahasa pertama atau kedua mereka. Bahasa Indonesia ada di posisi 9 dari 12 besar tersebut, digunakan oleh 175 juta manusia (data thn 2001). Kedelapan bahasa di urutan di atasnya secara berturut2 adalah: Cina, Inggris, Hindi, Spanyol, Rusia, Arab, Bengali, Portugis. Dan 3 bahasa di urutan setelah Indonesia: Prancis, Jepang, Jerman.
Pertanyaan penting berikutnya: di manakah Bahasa Indonesia digunakan? Tahan nafas sodara2…. Bahasa Indonesia digunakan hanya di Indonesia. (dan Timor Timur kali ya).
Bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional?
Dari segi jumlah penutur, Bahasa Indonesia termasuk salah satu dari yg teratas di dunia. Namun seperti yg pernah gue bilang ke dia, penutur yg banyak saja tidak cukup buat satu bahasa utk bertahan di dunia yg keras ini (boro2 jd bhs internasional). Bahasa Indonesia sangat mungkin jd bahasa internasional (atau setidaknya regional) suatu saat, kenapa tidak, terutama jika memperhitungkan kekuatan bahasa kita ini selain jumlah penuturnya yg banyak, yaitu mudah dan indah (wow, berima).
Mudah. Coba kalian bandingkan dengan bahasa2 di urutan di atas Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia itu luar biasa mudahnya dibandingkan dengan Bahasa Cina (hehe… kontras banget ya gue bikin perbandingan, bodo’ lah, biar langsung mengena). Utk belajar Bahasa Cina, kita butuh seumur hidup (kata gue). Ribuan Zeichen (tanda?) harus dihafal mati utk bisa nulis, itu sebabnya tingkat buta aksara di Cina begitu tingginya. Mau ngomong doang pun kita harus tau nada2nya, sentakan2, dan penekanan2 yg tepat atau artinya bakal melenceng jauh dari apa yg kita mau omongin.
Atau ambillah Bahasa Yunani. Jika gue hampir gila belajar Bahasa Jerman, maka kalau gue ditaruh di Yunani gue bisa gila beneran. Di Bahasa Yunani, kasus tidak hanya nominatif, akusatif, datif, dan genitif, namun tambah lagi satu: vocatif (whatever it means). Voices tidak hanya aktif dan pasif namun juga middle (hä?) Numbers tidak hanya singular dan plural namun juga dual (Bahasa Arab juga demikian).
Indah. Banyak orang bilang Bahasa Prancis indah didengar. Jelas sekali yg bilang ini tidak pernah belajar Bahasa Prancis. Cobalah pelajari satu2 katanya, huhuhuhu.... gak bakalan kepikiran deh sama indahnya (eh, ini sama aja alasan sulit ya). Bahasa Indonesia konon dalam pronounciation sangat mirip dengan Bahasa Itali. Tapi coba pikir baik2, bandingkan cermat2, maka dengerin org baca warta berita dlm Bahasa Indonesia itu rasanya bikin gue terbuai dan sebabkan gue gak dengerin apa omongannya… *ini sih emang gue males dengerin berita*. Pokoknya gue bilang Bahasa Indonesia itu indah (sangat subyektif memang kl ngomongin indah dan tidak indah. Ini masalah selera dan selera tidak bisa diperdebatkan kata nyokap gue).
Nah, Bahasa Indonesia itu banyak penuturnya, mudah, dan indah. Sayangnya, itu semua masih tidak cukup utk menarik orang asing berbondong2 belajar Bahasa Indonesia. Masih kurang satu hal yg terpenting: yakni motivasi. Buat apa belajar Bahasa Indonesia? Seandainya gue adalah pemerintah Vietnam dan pengen mengirim dosen2 gue atau pegawai2 negri gue utk belajar ke luar negeri, mending gue pilih kirim ke India. Selain mereka pakai Bahasa Inggris (sekalian belajar bahasa internasional), India juga mulai unjuk gigi di bidang pendidikan (terutama jurusan Informatik), dan masalah biaya pun kurang lebih sama dengan Indonesia. Atau sekalian ke Malaysia. Tidak akan ada yg mau belajar Bahasa Indonesia untuk alasan pendidikan.
Alasan iptek? Jangan bikin gue ketawa. Bahasa yg digunakan sebagai sarana komunikasi ilmiah (utk publikasi buku, konferensi, kuliah) ditentukan oleh banyak faktor terutama faktor2 politik dan ekonomi. Inilah yg menyebabkan sekali lagi keunggulan Bahasa Inggris. Menurut Ammon (1998), dalam bidang ilmu alam 90,7% publikasi adalah dlm bhs Inggris, diikuti kemudian oleh bhs Russia, Jepang, Prancis, dan Jerman yg masing2 persentasenya sekitar 1,5% (surprise surprise!) Dalam bidang ilmu sosial, 82,5% publikasi yg ada di dunia adalah dlm bhs Inggris, diikuti kemudian oleh bhs Prancis, Jerman, Spanyol, yg masing2 sekitar 4%. Dan di mana posisi Bahasa Indonesia? *Nebaknya pun gue males*.
Alasan prospek masa depan (misal: bidang ekonomi)? Hmm… masih lama sekali ya keliatannya, ini pun kalau Bahasa Indonesia gak keburu tergilas oleh zaman. Gue denger udah mulai ada perusahaan2 yg terapkan aturan utk bicara dlm bhs Inggris di kantornya? Gue denger udah mulai ada sekolah2 swasta utk anak2 Indonesia yg bhs pengantarnya bhs Inggris? Lalu utk apa org asing belajar Bahasa Indonesia jika org Indonesia sendiri berangsur2 sedang meninggalkan bahasa mereka? *gue mulai histeris dan hiperbola*.
Oke, sebelum gue dicap anti bahasa asing, gue perlu bikin pelurusan. Ehem. Belajar bahasa asing itu sangat perlu. Sangat. Perlu. Banyak manfaatnya. Gue sendiri belajar 3 bahasa asing dan nanti suatu saat di Indonesia gue bakal mulai bahasa asing ke-4 gue, yaitu Bahasa Arab (memenuhi tantangan nyokap gue). Minimal satu bahasa asing, generasi muda Indonesia harus bisa. Yang gue permasalahkan kemudian adalah, kalau belajar bahasa asing menyebabkan kita kehilangan “loyalty” (pinjam istilah dari Hoberg, 2004) terhadap bahasa kita sendiri. Baca posting Tia yang ini utk contoh favorit gue mengenai loyalitas thd Bahasa Indonesia.
Dalam waktu dekat memang tidak ada yg bisa kita harapkan utk org asing belajar bhs Indonesia sebagai bhs asing mereka. Indonesia harus membuktikan diri dulu sebagai bangsa yg kuat, misal dlm bidang ekonomi dan pendidikan. Dan sambil menunggu saat itu tiba … minimal yg bisa kita lakukan adalah menjaga bahasa kita sendiri.
Kata-kata Serapan dalam Bahasa Indonesia: Kontra?
Menjelang lulus dulu gue pernah kerja jd editor. Kerjaan gue sehari2 adalah duduk dan mikirin kata2 bhs Indonesia (atau kalimat) yg lbh cocok utk naskah tertentu sebelum diterbitkan. Atau kadang2 kita diskusikan. Kedengerannya emang menyenangkan, tapi cukup frustasi juga. Para editor senior yg gue rasa hafal luar kepala isi KBBI pun dibuat puyeng. Apa yg harus kita cetak misalnya utk kata2 seperti ice cream cone? Apa bhs Indonesia-nya? Belum lagi kl ketemu kata2 jargon. Untuk Psikologi, mereka bilang kiblat mrk di Indonesia adalah UI, jd pertanyaan selalu dikembalikan ke gue, “di kampus kalian sebut ini apa?” Wah wah wah, di kampus banyak sekali kata2 yg tetap kita sebut dlm bhs aslinya. Mungkin ada bhs Indonesianya, tapi gue ragu kl kita semua ngerti.
Akhirnya, penyelesaiannya biasanya adalah membuat serapan kata2 tsb ke dlm bhs Indonesia atau kl lebih terpaksa lagi tetap mencetaknya dlm bhs Inggris namun cetak miring. Hhhh…
Gue bingung apakah gue harus pro atau kontra mengenai kata-kata serapan dlm bhs Indonesia. Awalnya tentunya gue bersikap kontra. Hari ini, seperti yg dibilang Bama dan Herry di sini, bertebaran kata2 serapan terutama dlm bhs Inggris. Ini adalah konsekuensi logis yg merupakan gabungan dari globalisasi, canggihnya teknologi komunikasi, sekaligus membanjirnya penemuan2 dalam peradaban manusia dewasa ini yg hampir semuanya berasal dari negara2 berbahasa Inggris. Kalaupun ada penemuan dari negara bukan berbahasa Inggris, maka agar penemuan itu „diakui“, harus dikomunikasikan dalam bhs Inggris. Lalu kata2 itu diekspor ke seluruh penjuru dunia.
Jika gue kontra, maka pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana meminimalisasi jumlah kata2 yg berasal dari bahasa-bahasa asing di Bahasa Indonesia? (atau) Bagaimana melindungi Bahasa Indonesia dari serangan bahasa-bahasa asing? Dan bicara mengenai perlindungan bahasa, tidak afdhol kalo blm menyebut2 kebijakan pemerintah Prancis mengenai bahasa mereka. Prancis adalah contoh klasik jika bicara ideologi, perencanaan, dan manajemen bahasa. Prancis punya serangkaian kebijakan berbahasa yg didukung serangkaian badan pemerintah dalam menjalankannya (yang paling penting: French Academy). Dalam menghadapi kata2 asing, Prancis selalu mengeluarkan kata2 Prancis utk setiap kata bhs asing yg masuk Prancis. Jangan harap kita bisa bikin iklan di Prancis dengan menggunakan kata2 computer atau software (misal).
Memang efektivitas kebijakan2 Prancis tsb tidak bisa dikatakan 100% dan lebih dari itu, tidak bisa demikian saja disalin mentah2 oleh negara2 lain, karena secara sejarah saja, kebijakan berbahasa di Prancis sudah mulai digodok sejak abad 17 (dari satu literatur malah disebutkan sejak abad 16: Braselmann, 2004). Namun demikian, berkaitan dengan bhs Indonesia, inilah yg masih kurang dari bahasa kita: satu Komisi khusus yg terdiri dari sepasukan org yg duduk selama 24 jam per hari dan 7 hari per minggu utk memikirkan kata2 Indonesia utk setiap kata yg masuk ke Indonesia (ini langkah pertama dari kondisi idealnya).
Dulu pernah ada Komisi Bahasa Indonesia yg awalnya didirikan oleh Jepang utk menghapuskan Bahasa Belanda di Indonesia dan kemudian berlanjut hingga modernisasi Bahasa Indonesia yg hasilnya antara lain adalah peluncuran kamus kata2 modern Bahasa Indonesia sekitar thn 70-an. (gue gak tau bgmn kelanjutannya).
Sekarang ada yg namanya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (PPPB) dari Depdiknas. Kegiatan mereka sejauh ini (yg gue liat2 dari web site-nya) memikirkan pedoman membuat kata serapan (bukannya membuat kata2 bhs Indonesia sekalian!), penyuluhan2 bhs yg sangat gue ragukan keefektivitasannya, kerjasama entah apa sama dlm negeri dan luar negeri. Tadinya mau gue liat2 lagi web nya tapi lagi error (coba aja nanti beberapa hari lagi). Kalaupun ada yg bikin2 kata2 baru (gue gak tau ini tugas dan wewenang siapa), gue rasa masih kurang cepat, kurang cepat.
Sekalinya ada kata2 baru, misalnya sangkil dan mangkus (hehe), tertinggal hanya sebagai penghias kamus kita. Karena jurang yg lebar antara pembuatan kata2 baru dengan penyebarluasannya ke masyarakat. Inilah langkah kedua dari kondisi ideal: meneruskan kata2 baru agar dipelajari. Caranya: daftar kata tsb diteruskan ke institusi2 pendidikan, institusi2 negara, para editor di media massa, dll yg berkepentingan dgn kata2 baru tsb. Jadi gak cuma langsung ditaruh aja di kamus, siapa juga yg bakalan baca.
Sementara dipelajari tentu juga harus sambil dipakai (langkah ideal ketiga). Televisi adalah salah satu media penyebar yg sangat efektif. Mulailah setapak2, misalnya semua iklan harus dalam bhs Indonesia, atau minimal di-dubbing ke dlm bhs Indonesia. Yang gue liat kemarin pas gue pulang ke Jakarta, iklan2 di TV kok banyak bgt yg impor ya? Begitu banyak praktisi advertisement dan marketing kita yg kreatif2, knp gak bikin iklan sendiri? Mungkin pemerintah harus turun tangan, bikin kebijakan agar perusahaan2 asing di Indonesia hanya boleh beriklan dalam bhs Indonesia.
Kendala dari kondisi ideal di atas adalah tentu saja masalah biaya. Butuh triliunan per tahun kali ya utk hal seperti ini (belum lagi jumlah yg dikorupsi). Dan sangat tidak manusiawi rasanya, bicara masalah ini sementara di depan mata kita masih ada yg menderita busung lapar, masih ada yg ngangkut mayat anaknya naik kereta api, masih ada bencana2 alam yg hancurkan hidup jutaan manusia Indonesia.
Kata-kata Serapan dalam Bahasa Indonesia: Pro?
Gue pernah baca textbooks Psikologi terjemahan dua kali. Mungkin dua2nya termasuk buku2 terjemahan yg ideal di mata para ahli bhs Indonesia. Sangat jarang atau bahkan tidak ada kata2 asli bhs Inggris yg dicetak miring. Sangat jarang kata2 serapan, selama ada kata dlm bhs Indonesia itulah yg dipakai.
Namun apa kesan gue? Mau gue banting rasanya buku2 itu. Penuh dengan kata2 alien. Rupanya penerbit juga ragu apakah pembaca bisa ngerti makanya di beberapa kata terjemahan tetap disertakan kata asli di dalam kurung. Namun ada juga kata2 yg harus gue tebak2 sendiri, misalnya terjemahan utk kata variabel. Ternyata ada loh bhs Indonesianya, yaitu teba apaaa gitu, gue lupa. Kalau sudah begini, gue cuma menyumpah serapah aja. Mbok ya sekalian aja tulis serapannya langsung, mana sih yg paling penting, punya bahasa sendiri tapi gak ada yg ngerti atau punya kata2 serapan semua tapi dimengerti? *buah simalakama*
Gue pro kata2 serapan karena murah dan mudah (wow, berima lagi). Gue gitu loh, yg tergila2 sama yg praktis2 aja. Dan seperti yg gue bahas di bagian sebelumnya mengenai kendala kita yg cuma satu namun sangat telak yaitu masalah biaya membuat gue pro bersyarat terhadap kata2 serapan (syaratnya: mengikuti pedoman2 penyerapan yg dikeluarkan PPPB). Dan lagi toh memang dalam sejarah kita selalu menyerap kata2 asing. Mungkin di situlah letak identitas bahasa kita: bahasa penyerap, hehe... Lalu, alasan lain, seperti Goethe pernah bilang,
The power of a language lies not in its rejection but in its assimilation of what is foreign.
Kenapa kata2 bhs asing kita lihat begitu negatifnya dan dirasakan sebagai ancaman? Kenapa tidak dilihat sebagai pengayaan? Toh dlm Bahasa Indonesia belum ada penelitian ttg proporsi kata2 serapan modern thd Bahasa Indonesia secara keseluruhan. Bisa jadi semua kekhawatiran kita selama ini cuma sesuatu yg berlebihan dan tidak perlu?
Kesimpulan?
PS: untuk arti kata sangkil dan mangkus silahkan dibuat PR.
Btw, Bay, sori ya tapi gue mesti bener2 bilang ini: gue belum puas bahas masalah bahasa, hehe... gue blm bahas misalnya knp penting bagi satu bhs utk tersebar (knp byk bahasa berebutan pengaruh di dunia), bahasa dan identitas bangsa, hak asasi dalam berbahasa yg diatur di EU (termasuk kebijakan anti diskriminasi baru di EU), dll. Jadi, ini belum selesai, tapi utk blog gue cukuplah... Sepertinya kemungkinan besar inilah topik tesis gue nanti, masalah bahasa, terutama Bahasa Indonesia.